“Kalau ditanya apa kegunaan mata hewan, orang akan menjawab: sama seperti mata manusia.
Padahal, tidak begitu. Sama sekali tidak.”
Di labnya di Lunds Universitet di Swedia, Dan-Eric Nilsson sedang menekuri mata ubur-ubur kotak. Hewan itu memiliki sampai 24 mata, yang berwarna cokelat tua dan mengelompok dalam empat grup yang disebut rhopalium. Nilsson memperlihatkan model rhopalium kepada saya di kantornya: Mirip bola golf yang ditumbuhi tumor. Ditambatkan pada tubuh ubur-ubur oleh tangkai yang lentur.
“Pertama kali melihatnya, saya hampir tidak percaya,” kata Nilsson. “Bentuknya aneh sekali.”
Empat dari enam mata dalam setiap rhopalium merupakan lubang dan celah pendeteksi cahaya yang sederhana. Tetapi, dua yang lain ternyata canggih; seperti mata Nilsson, mata ubur-ubur itu memiliki lensa yang memfokuskan cahaya dan mampu melihat citra, meski pada resolusi lebih rendah.
Nilsson menggunakan matanya untuk, antara lain, mengumpulkan informasi tentang keragaman penglihatan hewan. Kalau ubur-ubur kotak itu, bagaimana? Hewan ini termasuk paling sederhana, hanya gumpal kenyal berdenyut dengan empat berkas tentakel penyengat. Otak betulan saja tak punya—hanya cincin neuron di sekeliling loncengnya. Sebenarnya, informasi apa yang dibutuhkannya?
Pada 2007, Nilsson dan timnya menunjukkan bahwa ubur-ubur kotak Tripedalia cystophora menggunakan mata-lensa bawahnya untuk melihat rintangan yang mendekat. Misalnya akar bakau di perairan tempatnya berenang. Mereka perlu empat tahun lagi untuk menemukan fungsi mata-lensa atas. Petunjuk besar pertamanya adalah pemberat yang melayang bebas di dasar rhopalium yang menjaga agar mata-atas selalu melihat ke atas. Jika mata ini mendeteksi petak gelap, ia merasa dirinya berenang di bawah tutupan bakau, tempat banyak krustasea kecil santapannya. Jika hanya terlihat cahaya terang, berarti ia melenceng ke perairan terbuka. Dengan bantuan matanya, gumpal tak berotak ini dapat menemukan makanan, menghindari rintangan, dan bertahan hidup.
Mata ubur-ubur kotak adalah salah satu dari variasi mata yang sangat beragam di dunia hewan. Ada yang hanya melihat hitam-putih; ada yang melihat warna-warni pelangi dan lebih dari itu, hingga bentuk cahaya yang tak tampak bagi mata kita. Ada yang bahkan tidak bisa menentukan arah cahaya yang datang; ada yang dapat melihat mangsa berkilometer jauhnya. Mata hewan terkecil, yang menghiasi kepala lalat peri Gonatocerus ashmeadi, ukurannya hanya lebih besar sedikit dari amuba; mata terbesar seukuran piring makan dimiliki dua spesies cumi-cumi raksasa. Cara kerja mata cumi-cumi, seperti mata kita, mirip kamera. Ada satu lensa yang memfokuskan cahaya ke satu retina, yang dipenuhi fotoreseptor—sel yang menyerap foton dan mengubah energinya menjadi sinyal listrik. Sebaliknya, mata majemuk lalat membagi penerimaan cahaya-datang kepada ribuan unit terpisah, yang memiliki lensa dan fotoreseptor masing-masing. Mata manusia, lalat, dan cumi-cumi muncul berpasangan di kepala pemiliknya. Tetapi, remis memiliki baris mata di sepanjang selubungnya. Bintang laut memiliki mata di ujung tangan, dan seluruh tubuh bulu babi ungu berfungsi sebagai satu mata besar. Ada mata dengan lensa bifokal, mata dengan cermin, dan ada pula mata yang bisa melihat ke atas, bawah, dan samping di saat bersamaan.
Dari satu segi, keragaman seluas itu membingungkan. Semua mata mendeteksi cahaya, dan cahaya memiliki perilaku yang bisa diduga. Namun, cahaya banyak kegunaannya. Cahaya menandakan waktu, kedalaman air, keberadaan naungan. Cahaya terpantul pada musuh, pasangan kawin, dan tempat berlindung. Ubur-ubur kotak menggunakannya untuk menemukan tempat makan yang aman. Anda menggunakannya untuk membaca kata-kata ini. Satu-satunya hal yang membatasi keragaman tugas yang dapat dilakukan mata adalah daya cipta alam. Untuk memahami cara mata berevolusi, ilmuwan tak bisa hanya sekadar menelaah strukturnya. Mereka harus memahami cara hewan menggunakan matanya.
!break!Sekitar 540 juta tahun silam, leluhur kelompok hewan paling modern tiba-tiba muncul, dalam ledakan pembentukan spesies baru yang dikenal sebagai ledakan Kambrium. Makhluk perintis ini banyak yang meninggalkan fosil. Sebagian fosil itu begitu awet, sehingga ilmuwan bisa menggunakan citra mikroskop elektron payar untuk mengetahui anatomi bagian dalam termasuk matanya, dan merekonstruksi cara pemiliknya melihat dunia.
“Saya terkagum-kagum,” kata Brigitte Schoenemann dari Universität zu Köln. “Kita bahkan bisa menghitung banyaknya foton yang ditangkap mata itu.”
Namun, mata ini sudah kompleks, dan tak tersisa jejak pendahulunya yang lebih sederhana. Catatan fosil tak memberi informasi apa pun tentang bagaimana hewan buta mula-mula memperoleh kemampuan untuk melihat dunia. Misteri ini membingungkan Charles Darwin. “Membayangkan bahwa mata, dengan segala peralatan yang sulit ditiru ini ... dapat dibentuk oleh seleksi alam, tampaknya, saya akui sendiri, amat sangat absurd,” tulisnya di Origin of Species.
Namun, langsung dalam kalimat berikutnya, Darwin memecahkan dilemanya sendiri: “Tetapi menurut nalar saya, jika dapat dibuktikan adanya banyak gradasi dari mata yang rumit dan sempurna ke mata yang sederhana dan sangat tidak sempurna, dengan setiap gradasi bermanfaat bagi pemiliknya…maka tidak sulit lagi meyakini, bahwa mata yang rumit dan sempurna bisa dibentuk oleh seleksi alam, meski tak terjangkau imajinasi kita.”
Gradasi yang dibicarakannya itu dapat dibuktikan. Hewan yang hidup kini mencontohkan setiap kemungkinan perantara, antara petak peka-cahaya primitif cacing tanah, dan mata elang yang seperti kamera supertajam. Nilsson bahkan membuktikan bahwa mata yang pertama disebut itu dapat berevolusi menjadi mata kedua dalam jangka waktu yang pendek.
Dia membuat simulasi yang diawali dengan sepetak kecil sel berpigmen peka-cahaya yang datar. Dengan setiap generasi yang berusia setahun, petak itu menebal sedikit. Perlahan melengkung menjadi mangkuk. Memperoleh lensa kasar yang berangsur-angsur semakin baik. Dalam kondisi paling pesimistis, dengan perbaikan mata 0,005 persen per generasi, hanya diperlukan 364.000 tahun bagi lembar sederhana itu menjadi organ mirip-kamera berfungsi penuh. Dalam kerangka evolusi, itu sekejap mata.
Namun, mata sederhana sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai batu lompatan. Semua mata yang ada zaman sekarang ini sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Mata bintang laut—satu di ujung setiap lengan—tidak bisa melihat warna, detail halus, atau benda bergerak cepat; mata seperti ini bisa membuat elang menabrak pohon. Namun, bintang laut toh tak perlu melihat dan menyambar kelinci yang berlari. Hewan itu hanya perlu mencari terumbu karang—bongkah besar yang tak bergerak di lanskap—agar bisa beringsut pulang. Matanya mampu melakukan itu; tidak perlu berevolusi menjadi lebih baik.
“Evolusi mata tidak berlangsung dari buruk ke sempurna,” kata Nilsson. “Evolusinya dimulai dari melakukan beberapa tugas sederhana dengan sempurna ke melakukan banyak tugas rumit dengan unggul.”
Beberapa tahun lalu dia mengabadikan konsep ini dalam suatu model yang menunjukkan perjalanan evolusi mata dalam empat tahap, masing-masing bukan didefinisikan oleh struktur fisik, melainkan oleh hal-hal yang dapat dilakukan hewan dengan keberadaannya. Tahap pertama melibatkan pemantauan intensitas cahaya sekitar, untuk mengetahui waktu siang atau malam, atau kedalaman hewan di air. Tidak perlu mata sejati untuk ini; cukup satu fotoreseptor. Hydra, kerabat ubur-ubur berukuran kecil, tidak punya mata, tetapi memiliki fotoreseptor pada tubuhnya. Todd Oakley dan David Plachetzki dari University of California, Santa Barbara, menunjukkan bahwa reseptor ini mengendalikan sel penyengat hydra, agar lebih mudah diaktifkan dalam gelap. Mungkin, dengan demikian, makhluk ini dapat beraksi terhadap bayangan korban yang lewat atau mencadangkan sengatan untuk malam hari saja, saat mangsa lebih banyak.
Dalam tahap kedua pada model Nilsson, hewan dapat membedakan arah datangnya cahaya, karena fotoreseptornya sudah memiliki perisai—biasanya pigmen gelap—yang menghalangi cahaya dari arah tertentu. Reseptor seperti ini memberi pemiliknya pemandangan satu piksel—belum cukup untuk disebut penglihatan sejati, tetapi cukup untuk mendekati sumber cahaya atau menjauhinya ke tempat perlindungan yang gelap.
Pada tahap ketiga, fotoreseptor berperisai itu mengelompok, masing-masing menghadap ke arah agak berbeda. Kini pemiliknya bisa menggabungkan informasi cahaya yang berasal dari beberapa arah, menghasilkan gambaran tentang dunianya. Ini menandai tahap ketika deteksi cahaya menjadi penglihatan sejati dan ketika kumpulan fotoreseptor menjadi mata sungguhan. Hewan dengan mata tahap tiga dapat menemukan tempat tinggal yang pantas, seperti bintang laut, atau menghindari rintangan, seperti ubur-ubur kotak.
Pada tahap empatlah evolusi mata—dan pemiliknya—benar-benar melesat. Dengan penambahan lensa untuk memfokuskan cahaya, penglihatan menjadi tajam dan mendetail. “Ketika sampai ke tahap empat, daftar kemampuan pun tak terbatas,” kata Nilsson. Mungkin fleksibilitas inilah salah satu bunga api yang menyulut ledakan Kambrium. Tiba-tiba persaingan antara pemangsa dan mangsa, yang sebelumnya terbatas pada mengendus, mencicip, dan meraba pada jarak dekat, dapat terjadi pada jarak jauh. Lomba senjata pun dimulai, dan hewan menanggapinya dengan menjadi lebih besar, lebih lincah, dan berevolusi membentuk cangkang, duri, dan zirah perlindungan.
Ketika hewan berevolusi, demikian pula matanya. Semua struktur visual dasar yang ada sekarang sudah muncul pada periode Kambrium, tetapi telah berkembang dalam beraneka ragam cara. Pada lalat capung jantan, seolah ada mata majemuk besar yang menempel di atas mata majemuk lain yang lebih kecil, khusus untuk memandangi langit guna mencari siluet betina yang terbang. Ikan bermata empat (nama yang pas) membagi kedua mata kameranya menjadi dua, sehingga setengah berada di atas permukaan air dan mengamati langit sementara setengah lagi mewaspadai ancaman dan mangsa di dalam air. Mata manusia cukup cepat, mahir mendeteksi kontras, dan resolusinya hanya kalah dari burung pemangsa—mata serbaguna yang bagus bagi makhluk yang paling multifungsi.
Bukannya rintangan bagi teori seleksi alam, evolusi mata yang kompleks adalah salah satu contoh seleksi alam terhebat. “Ada keagungan dalam teori kehidupan ini,” tulis Darwin pada akhir karya besarnya. Berkat mata tahap empatnya itulah, ia dapat melihat keagungan itu.
!break!Model Nilsson memberi penjelasan baru dalam perdebatan lama: apakah mata berevolusi satu kali atau berkali-kali. Ahli biologi evolusi Jerman legendaris, Ernst Mayr, menyatakan bahwa mata memiliki antara 40 dan 65 asal-usul yang terpisah-pisah, karena bentuknya begitu berbeda-beda. Mendiang Walter Gehring, ahli biologi perkembangan Swiss, berargumen bahwa mata berevolusi hanya sekali, setelah dia menemukan bahwa gen induk yang sama—dinamai Pax6—mengendalikan perkembangan mata pada hampir setiap makhluk yang bermata. Mereka berdua benar. Mata tahap-tiga sejati memang hasil evolusi dari pendahulunya, mata tahap-dua yang sederhana, melalui beberapa jalur. Misalnya, mata ubur-ubur kotak berkembang di jalur terpisah dengan moluska, vertebrata, dan artropoda. Namun, mata semua organisme itu adalah pengembangan dari detektor cahaya tahap-satu dasar.
Kita tahu ini karena semua mata terbuat dari unsur penyusun yang sama. Semua mata melihat dengan protein yang bernama opsin—dasar molekul bagi semua mata. Opsin bekerja dengan mengikat kromofor, molekul yang dapat menyerap energi dari foton yang datang. Energi itu langsung memicu kromofor berubah bentuk, memaksa mitra opsin-nya berubah bentuk pula. Perubahan ini memicu serangkaian reaksi kimia yang akhirnya menghasilkan sinyal listrik.
Ada ribuan macam opsin, tetapi semuanya berkerabat. Beberapa tahun yang lalu, Megan Porter, kini di University of Hawaii at Manoa, membandingkan urutan hampir 900 gen, kode untuk protein opsin dari seluruh kerajaan hewan, dan mengonfirmasi bahwa semuanya memiliki satu leluhur. Semuanya muncul satu kali, lalu terjadi diversifikasi yang membentuk satu pohon keluarga raksasa.
Leluhur opsin tidak muncul dari kehampaan. Evolusi membuat opsin pertama dari protein yang lebih berfungsi sebagai jam daripada sensor cahaya. Protein leluhur ini menempel pada melatonin, hormon yang mengendalikan jam tubuh 24 jam, pada banyak organisme. Melatonin hancur jika terkena cahaya, jadi ketiadaannya dapat menandakan sinar fajar pertama—tetapi hanya sekali. Makhluk yang mendeteksi fajar dengan melatonin harus terus-menerus memproduksi zat itu.
Sebaliknya, kromofor yang berikatan dengan opsin hanya berubah bentuk saat menyerap cahaya, dan dapat berubah kembali dengan mudah. Jadi, saat protein pengikat melatonin bermutasi, protein itu tiba-tiba menjadi sensor cahaya pakai-ulang. Itulah opsin pertama. Opsin itu begitu efisien sehingga evolusi tidak pernah memunculkan alternatif yang lebih baik; hanya membuat variasi pada bahan yang sama.
Berbeda dengan komponen mata lain, misalkan saja, lensa. Hampir semuanya terbuat dari protein yang disebut kristalin, yang meningkatkan mutu penglihatan pemiliknya dengan cara memfokuskan cahaya pada fotoreseptor di bawahnya. Tetapi tidak seperti opsin, kesamaan di antara berbagai jenis kristalin hanyalah namanya saja. Jenis kristalin setiap kelompok hewan berevolusi secara mandiri, dengan membajak protein berbeda-beda yang sebelumnya memiliki tugas berbeda pula, yang tak terkait dengan penglihatan. Namun, semuanya stabil, mudah dikemas, dan mampu membelokkan cahaya—cocok untuk membuat lensa.
Lensa teraneh di alam tak memiliki kristalin sama sekali. Lensa ini terdapat pada kiton—sekelompok moluska laut yang bentuknya seperti oval yang dihiasi lempeng baju zirah. Lempeng ini ditaburi ratusan mata tahap-tiga kecil, yang memiliki lensa masing-masing. Lensa ini terbuat dari mineral bernama aragonit, yang disusun kiton dari atom kalsium dan karbonat dalam air laut. Pada dasarnya, makhluk ini telah berevolusi hingga mampu melihat menembus batu, demi menajamkan penglihatannya. Dan ketika lensa batunya terkikis, kiton tinggal membuat yang baru.
!break!Opsin, lensa, dan setiap komponen lain pada mata merupakan bukti utak-atik evolusi yang tambal sulam. Utak-atik ini senantiasa mengalihfungsikan bahan yang sudah ada, serta menyusun beberapa struktur sederhana menjadi struktur kompleks. Namun, evolusi tak memiliki wawasan ke depan. Evolusi tidak bisa mulai lagi dari nol, jadi karyanya selalu dirundung ketidaksempurnaan. Nilsson khususnya kecewa oleh mata majemuk. Strukturnya, yang tersusun dari banyak unit berulang, membatasi resolusi visual dengan kaku. Jika lalat ingin melihat dengan resolusi setara manusia, lebar matanya harus satu meter.
“Serangga dan krustasea tumbuh subur meski terhambat oleh mata majemuk, bukan berkat didukung mata itu,” kata Nilsson. “Hewan-hewan ini tentu bisa lebih berkembang andai memiliki mata jenis kamera. Namun, evolusi tidak menemukan itu. Evolusi tidak pintar.”
Eric Warrant, tetangga Nilsson di Lunds Universitet, pandangannya tak sekeras itu. “Mata serangga memiliki resolusi temporal jauh lebih cepat,” katanya. “Dua lalat bisa berkejaran pada kecepatan tinggi dan melihat hingga 300 denyar cahaya per detik. Kita beruntung bisa melihat 50.” Mata capung dapat melihat hampir 360 derajat; Dan ngengat elephant hawk memiliki mata begitu peka sehingga tetap dapat melihat warna meski hanya diterangi cahaya bintang. “Dalam beberapa segi, kita lebih baik, tetapi dalam banyak segi, kita lebih buruk,” kata Warrant. Mata kamera kita punya masalah sendiri. Retina kita aneh, susunannya seperti terbalik. Fotoreseptor ada di balik jaring kusut neuron, yang sama saja seperti memasang kabel kamera di depan lensa. Kumpulan serat saraf juga perlu melewati sebuah lubang di lapisan fotoreseptor agar dapat mencapai otak. Itu sebabnya kita memiliki titik buta. Kelemahan ini tak ada manfaatnya; hanya keunikan riwayat evolusi kita.
Kita sudah mengakali kelemahan itu melalui evolusi. Retina kita mengandung sel panjang yang berfungsi seperti serat optik, menyalurkan cahaya melalui neuron ke fotoreseptor. Dan otak kita dapat mengisi kekosongan di titik buta. Namun, ada beberapa masalah yang tak dapat kita hindari. Retina kita kadang terkelupas dari jaringan dasarnya, menyebabkan kebutaan; itu tak akan pernah terjadi jika neuron terletak di balik fotoreseptor, menambatkannya. Desain yang lebih masuk akal ini terdapat pada mata kamera gurita dan cumi. Gurita tidak memiliki titik buta. Retinanya tidak pernah terlepas. Retina kita dapat terlepas, karena evolusi bekerja tanpa rencana. Evolusi mengeluyur tanpa berpikir, berimprovisasi sambil berjalan.
Tingkat kerumitan mata hanyalah sebatas yang diperlukan pemiliknya, dan jika keperluan itu berkurang, menurun pula kerumitan mata. Sebagian besar burung dan reptilia melihat warna dengan empat jenis fotoreseptor kerucut, masing-masing membawa opsin yang peka terhadap warna tertentu. Namun, mamalia berevolusi dari leluhur nokturnal yang telah kehilangan dua jenis kerucut ini, mungkin karena penglihatan warna tidak terlalu penting pada malam hari dan karena kerucut itu paling efektif dalam cahaya siang yang benderang.
Sebagian besar mamalia melihat dunia melalui palet warna terbatas. Anjing hanya memiliki dua kerucut, satu peka warna biru, satu peka merah. Namun, primata di belahan dunia timur membalikkan sebagian kehilangan ini, menghasilkan kembali kerucut peka-merah dari evolusi-ulang. Itu membuka mata leluhur kita pada dunia merah dan jingga yang sebelumnya tidak terlihat, serta mungkin membantu mereka membedakan buah yang ranum dan mentah. Banyak spesies paus yang kehilangan kerucut merah juga. Paus hanya memiliki fotoreseptor batang—cocok untuk melihat di kegelapan laut dalam, tetapi tak berguna untuk melihat warna.
Jika penglihatan tak lagi bermanfaat, beberapa hewan kehilangan mata. Pada kala Pleistosen, beberapa ikan air tawar kecil berenang masuk ke gua-dalam. Matanya tak berguna dalam gelap gulita, jadi keturunannya berevolusi menjadi populasi ikan gua buta yang berbeda—makhluk putih kemerahan yang hanya memiliki kulit di tempat yang dulunya terdapat mata. Ini terjadi karena pembuatan dan pemeliharaan mata memerlukan banyak energi.
Ini menjelaskan mengapa kecanggihan mata hewan hanya sebatas yang diperlukan saja, serta mengapa hewan begitu mudah kehilangan mata saat tak lagi memerlukannya. Menghamburkan energi untuk sistem indriawi yang tidak bermanfaat itu bisa-bisa mengakibatkan kepunahan. Mata adalah bukti evolusi yang kreatif tiada batas dan kikir tiada ampun.
Di University of Maryland, Baltimore County, Tom Cronin mengintip ke dalam tangki akuarium, dan dua mata majemuk yang menonjol, mirip bolu kukus yang terpasang pada tangkai, balas memandangnya. “Mr. Googles,” demikian julukan sayang pemberian Cronin, adalah hewan cantik. Dia adalah udang mantis pelangi. Di ujung tangan Mr. Googles terdapat palu tangguh yang menjulur begitu cepat dan kuat, mampu meretakkan kerang laut dan kaca akuarium.
Mata si udang mantis pelangi memiliki tiga wilayah terpisah yang berfokus pada ruang sempit yang sama, membentuk persepsi kedalaman tanpa bantuan mata satu lagi. Mata itu juga bisa melihat cahaya ultraviolet, dan cahaya terpolarisasi. Sementara kita memiliki tiga jenis reseptor warna pada retina, Cronin menemukan bahwa udang mantis ini memiliki 12 jenis, untuk warna berbeda. “Tadinya ini tidak masuk akal. Sama sekali,” dia mengenang.
Selama bertahun-tahun, ilmuwan berasumsi bahwa dengan reseptor sebanyak itu, udang mantis pelangi mampu mendeteksi perbedaan kecil antara nuansa warna. Tetapi, Hanne Thoen, di University of Queensland, Australia, mematahkan pemikiran itu pada 2013. Dia menunjukkan serat optik yang menampilkan warna berbeda kepada udang mantis pelangi, dan memberinya hadiah makanan jika udang itu menyerang warna tertentu. Dia lalu menyetel warna agar nuansanya semakin berdekatan, sampai hewan itu tak mampu lagi membedakannya. Kinerjanya buruk: bahkan tak bisa membedakan warna yang jelas berbeda bagi mata kita.
Jadi, buat apa reseptor sebanyak itu? Thoen menduga terkait kemampuan tempur. Di retina kita terjadi banyak pemrosesan visual, menambah dan mengurangi informasi dari kerucut sebelum mengirimnya ke otak. Mungkin sebaliknya, udang mantis pelangi langsung mengirim respons kedua belas reseptor warna itu ke otak, yang membandingkan data mentah dengan semacam tabel warna. Meskipun tidak pandai membedakan warna, mungkin sistem semacam itu menjadikan udang mantis itu lihai mengenali warna, yang kemudian membantunya membuat keputusan cepat, untuk meninju secepat kilat.
Cronin tak yakin. Kembali di labnya, dia mengayunkan pipet di dalam cawan petri berisi udang mantis yang lebih kecil—hanya beberapa sentimeter. Hewan itu mengamati, lalu meninju. Pukulannya bersuara mirip bunyi jentik jari.
“Jagoan kecil itu berpikir lama sebelum memukul. Ia tak membuat keputusan cepat,” kata Cronin, menjentikkan jarinya sendiri. “Apa manfaat fotoreseptor sebanyak itu?”
Itu juga pertanyaan yang selalu direnungkan Dan-Eric Nilsson. Tidaklah cukup hanya mengetahui struktur mata udang mantis, atau gen yang diaktifkan di dalamnya, atau sinyal saraf yang dikirimnya ke otak. Akhirnya, untuk memahami mengapa mata berbentuk tertentu, kita perlu tahu cara penggunaannya. Inilah kebenaran pokok tentang mata hewan: Kita hanya mampu memahami evolusinya setelah belajar melihat dunia melalui mata itu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR