Bovanenkovo adalah proyek besar pertama di Semenanjung Yamal. Proyek terambisius di sana adalah fasilitas gas alam cair atau LNG di Sabetta, Teluk Ob. Sebagai salah satu fasilitas terbesar di dunia, tempat ini dibangun oleh perusahaan Novatek dari Rusia dengan bantuan raksasa minyak dan gas Prancis Total dan Chinese National Petroleum Company. Pemerintah Rusia menyumbang pelabuhan air dalam dan beberapa kapal pemecah es untuk memandu selusin kapal tanker LNG pemecah es. Meskipun proyek Rp368 triliun ini tidak akan berjalan hingga setidaknya 2018, Novatek telah menjual di muka, banyak sekali gas.
Perhatian Rusia bahkan lebih besar lagi pada minyak Arktika. Pajak produksi dan bea ekspor bagi minyak memberikan 40 persen bagi pendapatan pemerintah, dan hasil dari ladang minyak legendarisnya di Siberia barat mengalami penurunan. Namun demikian, sejauh ini Rusia memerlukan teknologi dan modal asing untuk melakukan pengeboran lepas pantai di Arktika, dan sanksi yang dikenakan setelah intervensinya di Ukraina telah membuat proyek seperti ini dihentikan sementara. Platform Prirazlomnaya milik Gazprom adalah satu-satunya yang menghasilkan minyak. Namun, tepat sebelum sanksi itu berlaku, ExxonMobil dan raksasa minyak Rusia Rosneft mengebor sumur minyak terutara di dunia, di Laut Kara. Mereka menemukan minyak–sekitar 700 juta barel–tetapi menutup sumur itu untuk sementara.
Tak ada jaringan pipa di dekat ladang minyak ini. Minyak Prirazlomnaya–sejauh ini sekitar lima juta barel–dibawa dengan kapal tanker pengangkut dan kadang dipindahkan ke kapal lainnya. Ini sangat meningkatkan risiko tumpahnya minyak. Menurut sejumlah kelompok lingkungan setempat, perusahaan Rusia menumpahkan lebih dari tiga setengah juta barel minyak ke tundra.
NORWEGIA: KERAMAIAN DI BARENTS
Pada September 2010, M.V. Nordic Barents memuat bijih besi di tambang Sydvaranger di Kirkenes, Norwegia, dan berlayar ke timur menuju Shanghai. Sebagai kapal komersial non-Rusia pertama yang mengarungi Rute Laut Utara, ia didampingi kapal pemecah es Rusia, tetapi hanya menjumpai sedikit es, tak pernah berhenti, dan kecepatan rata-ratanya lebih dari 12 knot. Lebih penting lagi, kapal ini menghasilkan uang. Jalan potong Arktika memangkas sepertiga jarak dibandingkan melewati Terusan Suez dan menghemat Rp2,5 miliar hanya dari bahan bakarnya.
Pada 2013, sebuah kapal barang Tiongkok, Yong Sheng, mengalahkan waktu tempuh melalui Terusan Suez dengan selisih waktu hampir dua minggu. Kapal ini berlayar dari Dalian ke Rotterdam dalam waktu 35 hari, memecah rekor. Sejumlah orang menyatakan bahwa rute laut melewati Arktika yang telah lama dicari akhirnya menjadi kenyataan.
“Saya sedang rapat dengan direktur utama Atomflot [armada pemecah es Rusia beberapa tahun silam,” kata Felix Tschudi. Perusahaan miliknya, Tschudi Shipping, mengelola pelayaran perintis Nordic Barents. “dia bilang, ‘Kami ingin bersaing dengan Suez!’”
Itu hanya mimpi, ujar Tschudi. Lebih dari 17.000 kapal melewati Suez setiap tahun, dibandingkan 19 kapal yang menyusuri Rute Laut Utara pada 2013. Bahkan dengan berkurangnya es Arktika, angin kejam masih meniup pecahan es serta “growler”—gunung es kecil—ke jalur pelayaran, menyebabkan penundaan yang memakan banyak biaya. Rute ini masih terlalu tergantung musim dan terlalu jauh ke utara bagi perdagangan dunia yang ramai.
Sementara itu, Hammerfest, kota nelayan tua yang terletak 250 kilometer di sebelah barat Kirkenes, telah menjadi pusat usaha Norwegia untuk mendapatkan minyak dan gas Arktika di Laut Barents. Di sini, Statoil, perusahaan minyak dan gas Norwegia, membangun fasilitas LNG satu-satunya di Eropa pada 2007. Fasilitas ini menerima gas dari tiga ladang lepas pantai melalui pipa bawah laut sepanjang 150 kilometer.
Saat saya tiba, pelabuhannya penuh kapal, menunggu waktu untuk menarik benda seperti pulau bulat berwarna jingga menuju tengah laut. Platform Goliat, yang merupakan milik perusahaan minyak Italia, Eni serta Statoil, sejak saat itu melempar sauh di 71 derajat Lintang Utara—225 kilometer lebih dekat ke Kutub Utara dibandingkan platform Prirazlomnaya milik Rusia. Dengan tinggi 25 tingkat, Goliat bisa memompa 100.000 barel minyak per hari dan menyimpan sejuta barel di lambungnya sampai kapal tanker mengambilnya. Berkat Arus Teluk, kawasan dari Laut Barents ini sebagian besar selalu bebas es, sehingga pejabat Eni menyebutnya “Arktika yang bisa untuk bekerja.” Namun, anjungan ini harus bertahan dari angin topan badai dan gelombang 15 meter.
Eni mempertimbangkan membangun serangkaian Goliat untuk menyedot ladang yang lebih besar lagi lebih jauh ke utara di Barents—tetapi harga minyak meredam visi itu. Goliat memakan biaya 76 triliun rupiah dan ini sudah 17 triliun rupiah lebih besar daripada anggaran awal. Analis industri memperkirakan perusahaan ini memerlukan harga minyak 95 US dolar atau 1,3 juta rupiah per barel—kira-kira dua kali lipat harganya dari akhir tahun 2015—agar impas. Frederic Hauge, pendiri Bellona Foundation, kelompok pecinta lingkungan Norwegia, berharap harga mi-nyak akan menggembosi rencana besar Eni dan proyek lepas pantai lainnya di Arktika. Belum ada cara bagus untuk membersihkan minyak yang tumpah di perairan Arktika, katanya.
KANADA: TAMBANG EMAS
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR