Sebelum meninggalkan tambang, saya melihat emas dituang. Ahli metalurgi dengan pakaian kerja tahan panas bertudung perlahan menuangkan logam seperti lava dari sebuah wadah tempat peleburan ke dalam enam cetakan. Di cetakan itu cairannya akan semakin dingin dan membentuk batangan kuning keperakan yang tiap batangnya seberat 26 kilogram dan senilai 9,5 miliar rupiah. Selama berabad-abad tambang emas merampas hak milik orang pribumi dan menimbulkan kerusakan ekologis di seluruh planet. Pertambangan industri modern yang tiba-tiba ada di alam liar Arktika ini mungkin berbeda, tetapi bahkan pendukung setempat khawatir apakah tambang ini akhirnya akan menjadi berkah atau beban bagi Nunavut.
“Saya tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan anak saya,” kata Alexis Utatnaq, instruktur di pusat pendidikan masyarakat setempat yang menyiapkan siswa untuk bekerja di tambang. “Apakah kami akan punya lebih banyak guru dan dokter, atau kami semua akan jadi penambang? Apakah akan ada orang yang masih tahu cara berburu?”
ALASKA: SUMUR YANG BUKAN SUMUR
Terowongan permafrost buatan U.S. Army Corps of Engineers adalah peninggalan masa Perang Dingin. Terowongan tambang pendek ini digali ke dalam bukit yang terletak di sebelah utara Fairbanks dan dulu menjadi tempat peneliti mencari cara untuk menyembunyikan rudal. Kini terowongan itu menjadi tempat rekam jejak ganjil iklim Alaska masa lalu, menampilkan periode beku dan leleh sampai lebih dari 40.000 tahun silam. Baunya seperti pekarangan peternakan lama.
“Inilah bom karbon,” ujar Thomas Douglas, peneliti permafrost sambil menunjuk permafrost kuno kaya karbon. Permafrost di seluruh dunia mengandung hingga 1.600 gigaton karbon, dua kali lipat dari yang ada di atmosfer. Saat meleleh, permafrost melepaskan karbon, melipatgandakan perubahan iklim. Di dekat Bovanenkovo, ilmuwan menemukan kawah besar. Beberapa di antaranya lebih dari 60 meter dalamnya, bisa jadi terbentuk dari metan yang keluar dari permafrost yang mencair.
“Ini yang dicemaskan semua orang,” ujar Douglas. “Kajian terbaru memperkirakan bahwa 10 sampai 15 persen bisa sudah keluar pada 2100. Tetapi, 240 gigaton tetap saja karbon yang amat banyak.” Keluarnya gas sebanyak itu bisa membuat Alaska–dan seluruh dunia–menjadi tempat yang berbeda.
Alaska telah berubah dengan amat cepat. Melelehnya permafrost menggeser dasar jalan-an dan bangunan. Musim panas silam, 700 kebakaran liar menghanguskan sekitar dua juta hektare hutan boreal di musim kebakaran terburuk dalam beberapa dasawarsa belakangan. Hilangnya es di laut yang telah membuat eksplorasi minyak lepas pantai lebih mudah juga membuat desa-desa Alaska dilanda badai dahsyat, banjir, dan erosi pantai–le-bih dari 18 meter setahun di sejumlah tempat. Laporan pemerintah pada 2009 menaksir, 31 desa di Alaska menghadapi “ancaman parah.”
Wainwright, markas operasional Shell di Laut Chukchi tak terancam. Namun, Enoch Oktollik, mantan walikota, mengatakan, per-ubahannya jelas. “Dalam sepuluh tahun terak-hir,” katanya. “Es muda terbentuk, tapi es tahunan, berkurang. Ribuan walrus membanjiri pantai di Point Lay. Rumput semakin tinggi dan hijau. Meresahkan melihat semua ini.”
Saat Shell meninggalkan perburuan minyak lepas pantai di Alaska tahun silam, pecinta alam merayakannya. Namun, penduduk Alaska Arktika kebingungan. Setelah sekian dasawarsa menentang pengeboran le-pas pantai untuk melindungi perburuan paus bowhead, salah satu pilar terakhir budaya kuno mereka, banyak penduduk North Slope, juga Oktollik, akhirnya mendukung Shell de-ngan alasan pekerjaan dan pendapatan pajak. “Kami tak punya pilihan,” ujar Oktollik.
Bagaimana dengan perubahan iklim? tanya saya. “Inupiat telah beradaptasi ribuan tahun,” katanya tersenyum. “Kami akan beradaptasi dengan perubahan iklim.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR