Di India, ilmuwan saraf Richard Davidson mempelajari rahib Buddha dalam keadaan yang disebut thukdam, saat tanda-tanda biologis kehidupan telah berhenti, tetapi tubuh tampak segar dan utuh selama seminggu atau lebih. Tujuan Davidson adalah mencoba mendeteksi aktivitas otak pada para rahib ini, berharap dapat mengetahui apa, jika ada, yang terjadi pada pikiran setelah peredaran darah berhenti.
Di New York, Parnia menyebarkan keyakinannya pada resusitasi berkelanjutan. Menurutnya, manfaat CPR lebih besar daripada yang disadari orang dan bahwa dalam kondisi yang sesuai—saat suhu tubuh diturunkan, kompresi dada diatur kedalaman dan temponya, dan oksigen diberikan kembali perlahan-lahan—sebagian pasien dapat dihidupkan kembali setelah berjam-jam tanpa detak jantung. Hal ini sering kali tanpa konsekuensi jangka panjang. Kini dia menyelidiki mengapa begitu banyak orang yang mengalami henti jantung menceritakan pengalaman di-luar-tubuh atau menjelang-mati, dan informasi apa yang dapat diungkapkan oleh sensasi tersebut tentang zona transisi dan kematian itu sendiri.
oksigen memegang peran paradoks di perbatasan hidup-mati, menurut Roth, dari Fred Hutchinson Cancer Research Center di Seattle. “Sejak oksigen ditemukan pada awal 1770-an, para ilmuwan menyadari bahwa unsur ini penting bagi kehidupan,” katanya. Hal yang tidak diketahui ilmuwan abad ke-18 adalah bahwa peran penting oksigen ternyata tidak bersifat biner. “Memang, kalau oksigennya disingkirkan, hewannya bisa mati,” kata Roth. “Tetapi jika oksigen lebih dikurangi, hewan itu hidup lagi, tetapi dalam bentuk mati suri.”
Dia menunjukkan bahwa ini berhasil dilakukan pada nematoda tanah, yang masih hidup dengan udara yang hanya mengandung 0,5 persen oksigen dan mati jika oksigen dikurangi hingga 0,1 persen.Tetapi, jika cepat dilanjutkan ke tingkat oksigen yang jauh lebih rendah—0,001 persen atau lebih rendah lagi—cacing itu mati suri, serta memerlukan jauh lebih sedikit oksigen untuk bertahan hidup.Demikianlah cara mereka melanggengkan kehidupannya dalam keadaan kekurangan ekstrem, mirip hewan yang berhibernasi. Organisme mati suri ini tampak mati, tetapi kematiannya tidak permanen, ibarat kompor gas yang api kecilnya saja yang menyala.
Roth berusaha mencapai keadaan “api kecil” ini dengan menginfus hewan percobaan dengan “zat pereduksi unsur,” seperti iodida, yang sangat mengurangi kebutuhan oksigen hewan. Tak lama lagi dia akan mencobanya juga pada manusia. Tujuannya adalah meminimalkan kerusakan yang bisa terjadi akibat penanganan setelah serangan jantung.Jika iodida melambatkan metabolisme oksigen, menurut teori, ini mungkin membantu mencegah cedera reperfusi iskemia—rusaknya jaringan saat pasokan darah kembali setelah terjadi kekurangan oksigen untuk beberapa saat—yang kadang mengiringi penanganan seperti angioplasti balon.Pada setelan metabolisme oksigen yang lebih rendah ini, jantung yang rusak bisa menyeruput oksigen dari pembuluh yang diperbaiki, alih-alih dibanjiri oleh oksigen.
Menurut Roth: Dalam biologi, semakin sedikit sesuatu bergerak, masa hidupnya cenderung lebih panjang. Biji dan spora dapat memiliki masa hidup ratusan ribu tahun. Roth membayangkan bahwa kelak penggunaan zat seperti iodida, teknik yang akan segera dikaji dalam percobaan klinis awal di Australia, dapat memberi manusia keabadian itu “sejenak saja”—sejenak yang paling dibutuhkan, saat jantung dalam keadaan genting.
Pendekatan seperti ini tidak bisa membantu Pérez, yang jantungnya tak pernah berhenti berdetak. Di hari setelah pindaian CT, dokter kandungannya, Somer-Shely, mencoba menjelaskan kepada orang tua Pérez, Berta dan Modesto Jimenez, bahwa putri mereka yang cantik—mengalami kematian otak.
Bahasa pertama keluarga Jimenez adalah Spanyol, dan semua perkataan dokter harus melewati filter juru bahasa.Namun, kendala sesungguhnya bukanlah bahasa, melainkan konsep kematian otak itu sendiri. Istilah ini ber-asal dari akhir 1960-an, saat dua perkembang-an medis muncul bersamaan: mesin penopang hidup berteknologi tinggi, yang mengaburkan batas antara hidup dan mati, serta cangkok organ, yang menuntut kejelasan tentang batas itu. Kematian tak dapat lagi didefinisikan secara tradisional dengan berhentinya napas dan detak jantung, karena ventilator dapat menyediakan keduanya tanpa batas waktu.Apakah pasien yang dipasangi ventilator itu mati atau hidup? Jika ventilator disingkirkan, menurut etika, kapan kita boleh mengambil organnya untuk dicangkokkan ke orang lain?
Untuk menjawab pertanyaan ini, panel Harvard bertemu pada 1968 untuk mendefinisikan kematian dengan dua cara: cara tradisional, dengan kriteria jantung dan paru-paru, dan cara baru, dengan kriteria neurologi. Kriteria neurologi, yang kini digunakan untuk menentukan “kematian otak”, melibatkan tiga tanda dasar: koma atau tak ada respons, apnea atau tak mampu bernapas tanpa ventilator, dan ketiadaan refleks batang otak, yang diukur dengan pemeriksaan dari sisi tempat tidur, seperti membilas telinga dengan air dingin untuk memeriksa apakah mata bergerak.
Semuanya cukup jelas, tetapi juga bertentangan dengan intuisi.“Pasien yang mati-otak tidak mirip orang mati,” tulis James Bernat, ahli saraf pada 2014. “Rasanya bertentangan dengan pengalaman jika menyebut pasien sudah meninggal padahal masih ada detak jantung, peredaran darah, dan fungsi organ dalam.”
Artikelnya, yang bertujuan menjelaskan dan membela konsep kematian otak, terbit persis saat dua pasien kontroversial diliput secara luas: Jahi McMath, remaja California yang orang tuanya tak mau menerima diagnosis setelah gadis itu mengalami kehilangan oksigen yang merusak dalam operasi amandel. Kemudian Marlise Muñoz, wanita hamil mati-otak yang kasusnya berbeda dengan kasus Pérez secara signifikan. Keluarga Muñoz tidak mau ada tindakan apa pun untuk menopang fungsi tubuh Marlise, tetapi staf rumah sakit mengabaikan permintaan itu, karena mereka menganggap hukum Texas mewajibkan mempertahankan nyawa janin. (Belakangan hakim memutuskan bahwa pihak rumah sakit salah.)
Dua hari setelah stroke Pérez, keluarga Jimenez, bersama ayah sang janin lelaki yang belum lahir, berada di ruang di Rumah Sakit Metodis. Di sana mereka disambut oleh 26 anggota staf rumah sakit, termasuk ahli saraf, ahli perawatan paliatif, perawat, pendeta, ahli etika, dan pekerja sosial. Orang tua Pérez menyimak juru bahasa yang menjelaskan bahwa uji dokter menunjukkan otak putri mereka sudah tidak berfungsi. Mereka mendengar tim itu menawarkan “dukungan somatis” bagi Pérez sampai janin berusia setidaknya 24 minggu, yaitu ketika ada peluang lima puluh persen janin mampu hidup di luar rahim. Jika mereka beruntung, kata dokter, mereka dapat menjaga fungsi tubuh Pérez lebih lama lagi, menaikkan peluang keselamatan bayi itu setiap minggu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR