Meski sebagian besar tidak terlalu ingat detailnya, ada pula yang menyebut sensasi yang mirip dengan yang terdapat dalam buku-buku laris seperti Heaven Is for Real: waktu berlalu lebih cepat atau lambat (27 orang), rasa damai (22), terpisah dari tubuh (13), kegembiraan (9), atau melihat cahaya terang atau kilas keemasan (7). Sebagian berkata bahwa mereka ingat sensasi buruk: takut, tenggelam atau diseret di kedalaman air, atau dalam satu kasus, “melihat orang dalam peti mati dikubur dalam posisi tegak.” Kajian itu, tulis Parnia dan para rekan penulisnya di jurnal medis Resuscitation, memberi “pemahaman lebih jauh tentang pengalaman mental luas yang mungkin menyertai kematian setelah berhentinya peredaran darah.” Mereka menulis bahwa langkah selanjutnya adalah melakukan kajian apakah dan bagaimana semua pengalaman ini—yang disebut oleh kebanyakan penyelidik sebagai pengalaman menjelang mati (near-death experience, NDE), meski Parnia lebih menyukai istilah “pengalaman mati sesungguhnya”—memengaruhi orang setelah pemulihan, baik secara positif atau negatif, seperti masalah kognitif dan stres pasca-trauma. Hal yang tidak diselidiki tim AWARE adalah efek terlambat NDE yang umum dirasakan: rasa tujuan dan makna hidup yang baru. Itulah perasaan yang sering terdengar dari orang yang selamat—terutama yang kemudian menulis buku tentang itu. Mary Neal, dokter bedah ortopedi dari Wyoming, menyinggung efek itu kepada sejumlah besar pemirsa di diskusi panel 2013 yang berjudul Rethinking Mortality (Merenungkan Mortalitas). Neal, penulis To Heaven and Back, menceritakan pengalamannya tenggelam selagi berkayak di Cili 14 tahun sebelumnya.Menurutnya, dia dapat merasakan rohnya mengelupas dari tubuh dan keluar dari sungai, sementara lututnya menekuk ke belakang hingga tulangnya patah. Dia ingat menyusuri “jalan setapak yang sangat indah, menuju bangunan besar berkubah yang saya ketahui tidak menawarkan jalan pulang—dan saya ingin segera sampai di sana.” Dia bercerita, kala itu dia berpikir betapa anehnya seluruh pengalaman ini, bertanya-tanya sudah berapa lama dia di dalam air (belakangan dia tahu, sekurangnya 30 menit), merasa lega karena tahu bahwa suami dan anak-anaknya akan baik-baik saja tanpa dirinya. Lalu, dia merasakan tubuhnya keluar dari perahu dan dapat melihat petugas darurat melakukan CPR. Dia mendengar salah seorang memanggilnya, “Kembali, kembali!”—yang katanya dirasakannya “amat sangat menyebalkan.”
Kevin Nelson, ahli saraf di University of Kentucky, juga merupakan anggota di panel Neal, dan dia skeptis—bukan tentang ingatan Neal, yang diakuinya intens dan valid, tetapi tentang penjelasannya. “Ini bukan pengalaman kembali dari kematian,” katanya di konferensi itu, juga menyanggah pandangan Parnia tentang apa yang terjadi. “Dalam pengalaman seperti ini, otak masih sangat hidup dan sangat aktif.” Menurutnya, pengalaman Neal mungkin merupakan fenomena yang disebut intrusi REM, ketika aktivitas otak yang juga mencirikan mimpi, entah bagaimana, aktif pada peristiwa lain yang bukan tidur, seperti ketika kehilangan oksigen mendadak. Baginya, pengalaman menjelang-mati dan di-luar-tubuh bukan diakibatkan oleh keadaan sekarat, tetapi oleh hipoksia—kehilangan kesadaran, bukan kehilangan nyawa itu sendiri.
Kajian-kajian lain mengajukan beberapa penjelasan fisiologis lain untuk NDE. Di University of Michigan tim yang dipimpin ilmuwan saraf Jimo Borjigin mengukur gelombang otak pada sembilan tikus setelah henti-jantung. Pada semua tikus, gelombang gama frekuensi tinggi (yang dikaitkan dengan meditasi) semakin kuat setelah jantung berhenti—bahkan lebih koheren dan teratur daripada saat keadaan jaga biasa. Mungkin inilah NDE, tulis para penyelidik, “pemrosesan sadar yang lebih tinggi” yang terjadi selama periode transisi sebelum kematian menjadi permanen.
Lebih banyak lagi pertanyaan tentang zona abu-abu muncul dari fenomena thukdam, kejadian langka ketika seorang rahib meninggal tetapi tampaknya tidak terjadi pembusukan fisik selama seminggu atau lebih. Richard Davidson dari University of Wisconsin, yang bertahun-tahun mempelajari ilmu saraf tentang meditasi, sudah lama tertarik pada fenomena ini—terutama setelah dia melihat rahib dalam thukdam di biara Deer Park di Wisconsin.
“Kalau saya hanya kebetulan masuk ke ruang-an itu, saya tentu mengira dia sedang duduk bertapa,” kata Davidson. “Kulitnya tampak segar dan hidup, tidak ada pembusukan apa pun.” Kesan kehadiran orang yang sudah meninggal itu, bahkan pada jarak dekat, turut mengilhami Davidson untuk mempelajari thukdam secara ilmiah. Dia mengumpulkan peralatan medis dasar, seperti EEG dan stetoskop, di dua pos lapangan di India dan melatih tim lapangan beranggotakan 12 dokter Tibet untuk menguji para rahib ini—lebih baik dimulai saat masih hidup—untuk melihat apakah aktivitas otak berlanjut setelah kematian.
“Kemungkinan besar, pada banyak praktisi ini, mereka masuk ke keadaan meditasi sebelum meninggal, dan ada semacam pemeliharaan keadaan itu setelahnya,” kata Davidson. “Bagaimana persisnya itu terjadi, dan bagaimana penjelasannya, luput dari pemahaman konvensional kita.” Penelitiannya, meski berlandaskan ilmu Barat, bertujuan memperoleh pemahaman yang berbeda, yang lebih memerhatikan nuansa yang dapat menjelaskan apa yang terjadi. Tak hanya pada rahib dalam thukdam, namun siapa pun yang menyeberangi perbatasan hidup dan mati.
!break!Disintegrasi biasanya berlangsung cepat setelah orang meninggal. Ketika berhenti berfungsi, otak tak mampu lagi menjaga keseimbangan sistem-sistem lain. Jadi, agar tubuh Karla Pérez terus memelihara janin setelah otaknya berhenti bekerja, tim yang beranggotakan lebih dari seratus dokter, perawat, dan pekerja rumah sakit lain harus menggantikan perannya. Siang-malam mereka senantiasa memantau pengukuran tekanan darah, fungsi ginjal, dan elektrolit Pérez, sambil terus menyesuaikan isi slang dan infusnya.
Tetapi, sekalipun anggota tim inilah yang mengerjakan fungsi otak Pérez yang rusak, mereka tetap kesulitan menganggapnya sebagai orang yang sudah meninggal. Setiap orang memperlakukannya seakan dia sedang koma, menyapa namanya ketika masuk ke kamarnya dan mengucapkan selamat tinggal saat keluar.
Hingga batas tertentu, sikap yang memanusiakan Pérez ini dilakukan untuk menghormati keluarganya, bentuk kesopanan agar tak terkesan memperlakukannya sebagai wadah janin yang lembam. Tetapi dari segi lain, sikap ini lebih dari kesopanan, mencerminkan perasaan orang-orang yang merawat Pérez.
Todd Lovgren, salah seorang pemimpin tim medis itu, tahu beratnya kehilangan putri—dia juga ditinggal putrinya, sulung dari lima anak, yang semestinya 12 tahun seandainya masih hidup. “Saya tentu tersinggung jika tidak memperlakukan Karla seperti manusia,” katanya kepada saya. “Saya melihat seorang wanita dengan kuku dicat, ibunya menata rambutnya, dengan tangan hangat dan jari kaki hangat… Baik otaknya masih berfungsi atau tidak, saya rasa kemanusiaannya belum lenyap.”
Berbicara sebagai orang tua dan bukan klinisi, Lovgren berkata bahwa dia merasa sedikit esensi Pérez masih ada di tempat tidur itu—meski dia tahu, pada saat pindai CT kedua, bahwa otak Pérez bukan hanya tidak berfungsi, tetapi beberapa bagian besar sekarat dan terkelupas.
Pada 18 Februari, sepuluh hari setelah stroke Pérez, rupanya darahnya tidak membeku secara normal—pertanda bahwa jaringan otak mati sudah masuk ke saluran darah, satu lagi tanda bagi Lovgren bahwa “Pérez tak akan pernah pulih.” Saat ini janin sudah 24 minggu, jadi tim memindahkan Pérez dari kompleks utama kembali ke Rumah Sakit Perempuan Metodis, rumah sakit bersalin. Mereka berhasil mengatasi masalah penggumpalan darah sementara.Namun, mereka siap melakukan bedah sesar jika sudah waktunya merelakan.
!break!Bagi Sam Parnia, kematian berpotensi dibalikkan. Sel di dalam tubuh kita biasanya tidak mati ketika kita mati, katanya; sebagian sel dan organ dapat tetap hidup selama berjam-jam, bahkan mungkin berhari-hari.Penentuan waktu pernyataan kematian kadang berkaitan dengan sikap pribadi, katanya. Saat dia masih kuliah kedokteran, dia mengamati bahwa orang berhenti melakukan CPR setelah hanya lima hingga sepuluh menit, berasumsi bahwa lebih lama berarti akan terjadi kerusakan otak yang tak bisa diperbaiki.
Namun, para ilmuwan resusitasi kini mengetahui cara mencegah kematian otak dan organ lain bahkan setelah jantung berhenti. Mereka tahu bahwa menurunkan suhu tubuh itu bermanfaat—yang terjadi secara alami pada Gardell Martin, dan secara sengaja di beberapa UGD yang selalu mendinginkan pasien sebelum melakukan CPR. Mereka tahu kegigihan juga bermanfaat, terutama di rumah sakit yang menggunakan mesin untuk mengatur kompresi dada, atau yang kelak mungkin menggunakan obat seperti iodida.
Parnia mengumpamakan ilmu resusitasi sebagai aeronautika.Dulu manusia sepertinya tak mungkin bisa terbang, tetapi pada 1903 Wright bersaudara berhasil. Betapa ajaibnya, katanya, bahwa hanya perlu waktu 66 tahun dari penerbangan pertama selama 12 detik itu hingga pendaratan di bulan. Menurutnya, kemajuan seperti itu juga dapat terjadi dalam ilmu resusitasi.Dalam hal membalikkan kematian, Parnia meyakini, kita masih berada di era Wright bersaudara.
Namun, para dokter sudah mampu menyambar kehidupan dari kematian dalam cara-cara yang memukau dan menginspirasi.Di Nebraska, hal itu terjadi pada 4 April 2015, hari sebelum Paskah, ketika bayi lelaki bernama Angel Pérez lahir melalui bedah sesar di Rumah Sakit Perempuan Metodis menjelang tengah hari. Angel kini hidup karena para dokter mampu menjaga tubuh ibunya yang mati-otak, agar tetap berfungsi selama 54 hari, cukup lama agar Angel tumbuh menjadi bayi mungil yang normal sempurna. Bobotnya 1,3 kilogram, ajaib karena dia begitu normal.Bayi yang ternyata menjadi milagro—keajaiban—yang didoakan kakek-neneknya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR