Modesto Jimenez mungkin teringat pada percakapan malam sebelumnya dengan Somer-Shely—satu-satunya dokter di rumah sakit yang mengenal Pérez sebagai manusia hidup—ketika Modesto memisahkan diri bersama dokter itu dan bertanya, “¿Será mi hija nunca despertar?”
“Tidak,” kata dokter itu. “Putri Anda mungkin tak akan pernah sadar lagi.” Itulah salah satu hal tersulit yang pernah disampaikan Somer-Shely.
“Dalam pikiran klinis, saya tahu mati-otak adalah kematian,” katanya. “Dari sisi klinis, dia sudah mati pada titik itu.” Namun, saat melihat pasiennya terbaring, Somer-Shely sulit memercayainya, sama seperti keluarga Jimenez. Pérez mirip orang yang baru selesai operasi: Kulitnya hangat, dadanya naik-turun, di perutnya ada janin yang bergerak-gerak, tampak sehat.
Di ruangan, keluarga Jimenez mengangguk muram, memberi tahu tim medis bahwa mereka memahami putri mereka mati-otak. Tetapi, mereka menambahkan, mereka akan terus berdoa memohon un milagro—mukjizat.
Jika mukjizat didefinisikan sebagai membangkitkan orang dari kematian, kadang itu memang terjadi dalam dunia kedokteran.
Keluarga Martin meyakini bahwa mereka menyaksikan mukjizat saat putra bungsu mereka, Gardell, meninggal musim dingin lalu sewaktu jatuh ke sungai es.Dia, ibunya, ayahnya, dan enam kakaknya tinggal di tanah pedesaan luas di Pennsylvania.Di bulan Maret 2015 dua kakak lelaki mengajak Gardell, yang belum dua tahun, keluar bermain. Batita itu jatuh ke sungai yang terletak sekitar seratus meter dari rumah. Kedua kakaknya merasa kalut saat tak berhasil menemukannya.Ketika petugas darurat sampai di sisi Gardell—yang ditarik keluar dari air oleh seorang tetangga—jantung anak itu sudah berhenti berdetak setidaknya 35 menit.Paramedis memulai kompresi dada, namun tak berhasil membuat jantungnya berdetak. Mereka melanjutkan CPR sambil melaju 16 kilometer ke Evangelical Community, rumah sakit terdekat. Suhu tubuhnya 25 derajat Celsius, lebih dari 11 derajat di bawah normal. Mereka mempersiapkan Gardell untuk diangkut helikopter ke Geisinger Medical Center, sejauh 29 kilometer. Masih belum ada detak jantung.
“Tidak ada tanda kehidupan,” kenang Richard Lambert, direktur sedasi anak dan anggota tim perawatan-kritis anak yang menunggu helikopter itu. “Ia mirip anak yang … Yah, warna kulitnya kehitaman, gelap. Bibirnya biru …” Suara Lambert menggantung, mengenang masa mengerikan itu. Dia tahu bahwa anak-anak yang tenggelam di air es kadang pulih, tetapi dia belum pernah mendengar kepulihan pada anak yang sudah mati selama Gardell. Lebih parah lagi, ternyata pH darah anak itu sangat rendah, pertanda kegagalan organ akan segera terjadi.
Dokter muda di UGD menoleh kepada Lambert dan rekannya Frank Maffei, direktur perawatan kritis anak untuk Rumah Sakit Anak Janet Weis di Rumah Sakit Geisinger: Apa mungkin sudah saatnya mereka berhenti berusaha menyadarkan anak itu? Lambert maupun Maffei ingin terus melanjutkan.Semua unsur mendukung akhir bahagia.Airnya dingin, anaknya masih kecil, upaya resusitasi dimulai dalam hitungan menit setelah tenggelam dan sejak itu berlanjut tanpa henti. Mari kita coba sebentar lagi saja, kata mereka kepada tim.
Sepuluh menit, 20 menit lagi, 25 menit lagi. Kala itu nadi Gardell sudah satu setengah jam tak berdenyut atau bernapas. Dia “mayat dingin lemas yang tak menunjukkan tanda kehidupan,” papar Lambert. Namun, anggota tim terus memompa, menekan, memantau. Kompresi dada dilakukan bergiliran setiap dua menit—melelahkan jika harus terus melakukannya dengan benar—yang lain memasukkan kateter ke vena paha, vena leher, perut, kandung kemih, memasukkan cairan hangat untuk menaikkan suhu tubuh. Tampak tak ada yang berpengaruh.
Alih-alih menghentikan resusitasi, Lambert dan Maffei memutuskan untuk melakukan bypass jantung paru—bentuk paling agresif dari pemanasan-kembali aktif, upaya terakhir untuk membuat jantungnya berdetak. Setelah mencuci tangan untuk persiapan operasi, mereka memeriksa denyut nadi sekali lagi.
Ajaibnya, hal itu terjadi: Detak jantung, awalnya samar, tetapi mantap, tanpa irama abnormal yang kadang muncul setelah henti-jantung berkepanjangan. Tiga setengah hari kemudian Gardell keluar dari rumah sakit bersama keluarganya yang tiada henti berdoa, agak tertatih-tatih tetapi sehat.
!break!Gardell masih terlalu kecil, untuk bisa menceritakan pengalaman kematiannya selama 101 menit. Namun, kadang-kadang orang yang diselamatkan, berkat resusitasi yang gigih dan bermutu, kembali membawa cerita yang cukup jelas—dan anehnya mirip. Orang-orang yang selamat ini dapat dianggap pernah menyeberang ke sisi lain dan kembali membawa cerita yang menawarkan wawasan tentang apa rasanya mati. Kisah mereka dari zona abu-abu telah menjadi subjek penelitian ilmiah, terbaru dalam kajian AWARE (AWAreness during REsuscitation, kesadaran selama resusitasi) yang dipimpin oleh Sam Parnia. Sejak 2008, Parnia, direktur penelitian resusitasi di Stony Brook University, dan koleganya menelaah 2.060 kasus henti-jantung di 15 rumah sakit Amerika, Inggris, dan Austria. Ada 330 yang selamat, 140 di antaranya diwawancarai. Lima puluh lima dari 140 pasien berkata, selama resusitasi mereka mengalami semacam kesadaran.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR