Planet kita hanya mengikuti kelengkungan lokal dari struktur ini, yang disebut Einstein sebagai 'ruang-waktu'.
Ide gila itu amat butuh bukti eksperimental untuk mendukungnya. Yang terpenting, gerhana matahari pada 1919 menawarkan kesempatan itu.
Ketika Bulan menghalangi Matahari, hari sudah cukup gelap untuk melihat bintang-bintang di dekatnya. Namun kita tidak melihat bintang-bintang ini di tempat yang sebenarnya karena gravitasi matahari membelokkan cahayanya menuju kita.
Bayangkan ruang sebagai selembar kertas yang luas. Kita tinggal di satu ujung dan kita ingin melakukan perjalanan ke ujung yang lain. Biasanya kita harus berjalan dengan susah payah melintasi seluruh halaman untuk sampai ke sana.
Baca Juga: Catatan Rahasia Isaac Newton tentang Piramida dan Prediksi Hari Kiamat
Akan tetapi, bagaimana jika kita melipat kertas menjadi dua? Tiba-Tiba, tempat kita berada dan tempat yang ingin kita kunjungi tepat bersebelahan.
Lubang cacing disebut karena ia seperti cacing yang mencoba menavigasi jalannya di sekitar apel. Untuk pergi daru atas ke bawah memiliki dua pilihan. Merangkak di luar, atau mengunyah jalan pintas melalui tengah.
Mulanya menemukan amat tipis menemukan lubang cacing. Sampai pada Februari 2016 ketika pra ilmuwan di LIGO (Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory) mengumumkan deteksi gelombang gravitasi untuk pertama kalinya.
Itu adalah riak kecil dalam struktur ruang-waktu, diprediksi oleh relativitas umum, yang menyebar ke seluruh alam semesta seperti riak di kolam.
"Itu adalah pengubah permainan," kata Vitor Cardoso, seorang fisikawan di Universitas Lisbon pada laman Space.
Dua lubang hitam (masing-masing sekitar 30 kali lebih besar dari matahari) telah menabrak satu sama lain 1,3 miliar tahun lalu. Tabrakan dahsyat mereka mengirim tsunami gelombang gravitasi yang mengaum melalui ruang-waktu, akhirnya mencapai instrumen LIGO pda September 2015.
Baca Juga: Surat Albert Einstein yang Berisi Rumus E=MC2 Dijual Rp17,2 Miliar
Source | : | space.com |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR