Imperato-McGinley bercerita bahwa saat dia pertama kali mengunjungi Republik Dominika, anak-anak lelaki yang baru jadi ini diragukan orang dan harus membuktikan diri dengan lebih tegas daripada anak lelaki lain sebelum diterima sebagai lelaki sejati. Kini anak-anak ini umumnya dikenali saat lahir. Tetapi, mereka biasanya tetap dibesarkan sebagai perempuan.
Gender adalah perpaduan beberapa unsur: kromosom (X dan Y), anatomi (organ seksual internal dan alat kelamin eksternal), hormon (jumlah relatif testosteron dan estrogen), psikologi (identitas gender yang ditetapkan sendiri), dan budaya (perilaku gender yang ditetapkan masyarakat). Kadang-kadang, ada orang yang dilahirkan dengan kromosom dan alat kelamin jenis tertentu yang kemudian menyadari bahwa dirinya transgender, yaitu identitas gender internalnya bersesuaian dengan lawan jenisnya—atau bahkan, sesekali, tidak dengan keduanya, atau tanpa gender sama sekali.
Dalam kerangka biologi, sebagian ilmuwan menduga bahwa transgender disebabkan oleh kecepatan perkembangan janin yang tidak selaras. “Diferensiasi seksual alat kelamin terjadi dalam dua bulan pertama kehamilan,” tulis Dick Swaab, peneliti di Nederlands Herseninstituut di Amsterdam, “dan diferensiasi seksual otak dimulai pada paruh kedua kehamilan.” Maka, alat kelamin dan otak berkembang dalam lingkungan “hormon, gizi, obat, dan zat kimia lain” yang berbeda, dengan selang waktu beberapa minggu di rahim, yang memengaruhi diferensiasi seksual.
Ini bukan berarti ada otak “lelaki” atau “perempuan”. Namun, setidaknya beberapa ciri otak, seperti densitas substansi kelabu atau ukuran hipotalamus, cenderung berbeda menurut gender.
Kajian seperti ini memiliki beberapa masalah. Kajiannya biasanya kecil, kadang hanya melibatkan setengah lusin individu transgender. Kajiannya kadang menyertakan orang yang sudah mulai memakai hormon untuk bertransisi ke gender satunya, yang berarti perbedaan otak yang diamati mungkin adalah hasil, bukan penjelasan untuk, identitas transgender subjek tersebut.
Tetapi, ada satu temuan dalam penelitian transgender yang cukup kukuh: hubungan antara ketidaksesuaian gender dan gangguan spektrum autisme (ASD). Menurut John Strang, ahli psikologi saraf anak di Center for Autism Spectrum Disorders dan Gender and Sexuality Development Program di Children’s National Health System di Washington, D.C., anak dan remaja pada spektrum autisme tujuh kali lebih mungkin menjadi gender nonconforming. Sebaliknya, anak dan remaja di klinik gender, 6-15 kali lebih mungkin mengidap ASD, daripada anak muda lain.
Emily Brooks, 27, menyandang autisme dan menyebut dirinya nonbiner. Brooks baru meraih gelar S-2 dalam kajian disabilitas dan bercita-cita menciptakan ruang lebih aman bagi orang yang gender nonconforming (yang didefinisikannya secara cukup luas) sekaligus menyandang autisme. Orang seperti itu harus melawan diskriminasi terhadap orang cacat dan fobia terhadap orang transgender, katanya. “Dan kita tidak bisa berasumsi bahwa tempat yang menghormati satu identitas, akan menghormati identitas lainnya.”
Sistem biner memiliki sisi positifnya juga. Sebagian besar manusia—lebih dari 99 persen, perkiraan yang cukup aman—menempatkan diri di salah satu ujung spektrum gender.
Namun, orang masa kini—terutama kaum muda—bukan hanya mempertanyakan gender yang ditetapkan bagi mereka saat lahir, tetapi juga sistem biner gender itu sendiri.
Survei baru-baru ini atas seribu orang generasi milenial berumur 18 hingga 34 menemukan bahwa separuhnya menganggap “gender adalah spektrum, dan sebagian orang berada di luar kategori konvensional.” Menurut Human Rights Campaign, cukup banyak dari yang separuh itu menganggap dirinya nonbiner. Pada 2012, kelompok advokasi tersebut melakukan jajak pendapat atas 10.000 remaja lesbian, gay, biseksual, dan transgender berumur 13-17 tahun dan menemukan bahwa 6 persen di antaranya menganggap diri sebagai “genderfluid,” “androginus,” atau istilah lain di luar kotak biner.
Anak muda yang berusaha menentukan tempatnya pada spektrum, biasanya memilih kata ganti untuk menyebut dirinya. Meski tidak merasa benar-benar perempuan atau lelaki, mereka bisa jadi menggunakan “he” atau “she,” seperti Emily Brooks. Akan tetapi, banyak yang memilih kata ganti netral-gender seperti “they” atau kata ganti buatan seperti “zie.”
Charlie Spiegel, 17, mencoba menggunakan “they” beberapa lama, namun kini lebih suka memakai “he.” Charlie ditetapkan sebagai perempuan saat lahir. Pada masa puber, dipanggil perempuan membuatnya gundah. Label perempuan semestinya cocok, tetapi tidak begitu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR