Sebelum leluhur bangsa Prancis, yaitu bangsa Kelt, belajar membuat minuman anggur sendiri, mereka mengimpornya dari bangsa Yunani, Etruskan, dan Romawi. Di ladang gandum di ujung jalan gunung berkelok di Prancis tengah, di situs arkeologi bernama Corent, saya sempat mencicipi ketergantungan ini. Pemandu saya bernama Matthieu Poux, arkeologi Swiss-Prancis.
Di Corent, Poux memimpin sekitar 50 arkeolog dan mahasiswa Prancis yang menyingkapkan fondasi sebuah ibu kota wilayah dan pusat upacara Kelt besar. Pada abad kedua dan pertama sebelum Masehi, tempat ini dihuni sampai 10.000 jiwa. Kota ini memiliki pasar, kuil, kedai minuman, teater, dan ratusan rumah.
Menurut Poux, Corent adalah contoh jelas tentang peran alkohol sebagai perekat budaya, pelumas sosial, dan simbol status—dan pemicu kekerasan. Sekitar 140 SM, delapan dasawarsa sebelum serbuan Julius Caesar, kaum elite Corent semakin menggandrungi anggur Romawi. Buktinya, dalam bentuk keping-keping kendi anggur dari lempung, atau amphora, begitu melimpah sehingga berderak pada setiap langkah ketika Poux mengajak saya berkeliling situs. Arkeolog menemukan setidaknya 50 ton keping amphora di sini; Poux memperkirakan masih ada 500 ton lagi di puncak bukit.
Sambil membungkuk, dia memungut pecahan lempung bakar sebesar telapak tangan bertabur bercak kaca vulkanis hitam dari tanah, lalu memberikannya kepada saya. “Kami menemukan jutaan keping amphora, semuanya diimpor dari Italia,” katanya. “Yang ini mengandung obsidian—bisa disimpulkan ini berasal dari pedesaan di dekat Gunung Vesuvius.”
“Upacara itu angkuh, resmi—juga brutal, dengan korban manusia dan adu pedang karena memperebutkan porsi daging,” kata Poux. “Tentara minum banyak sebelum pertempuran, dan bertempur dalam keadaan mabuk.”
Pembuat anggur Romawi, yang klien Romawi elitenya lebih menyukai anggur putih, memelihara kebun luas anggur merah untuk pasar Kelt. Pedagang membawa anggur itu menyeberangi Laut Mediterania, dengan kapal laut yang masing-masing mengangkut hingga 10.000 amphora, lalu mengirimnya ke utara dengan tongkang sungai kecil. Ketika sampai di Corent berbulan-bulan kemudian, nilainya sudah bertambah seratus kali lipat.
Anggur adalah fokus ritual rumit yang menegaskan status pemimpin suku. Situasi kadang memanas. “Upacara itu angkuh, resmi—juga brutal, dengan korban manusia dan adu pedang karena memperebutkan porsi daging,” kata Poux. “Tentara minum banyak sebelum pertempuran, dan bertempur dalam keadaan mabuk.” Amphora tidak hanya dibuka; tetapi dipenggal dengan pedang. Dengan melapisi jalan menggunakan keping kendi, kata Poux, para penguasa Corent memamerkan kekayaan dan kekuasaannya.
Menurut perhitungannya, bangsa Kelt yang tinggal di sini menghabiskan 50.000 hingga 100.000 kendi anggur selama seabad, setara dengan 28.000 botol per tahun anggur merah Italia impor yang mahal. “Dan anggur terutama diminum oleh kaum elite,” kata Poux. “Kita harus berasumsi jumlah bir dan bir madu yang diminum oleh rakyat biasa jauh lebih banyak.”
Akan tetapi, dengan standar zaman sekarang, jumlah itu mungkin tidak terdengar mengesankan. Dunia modern berlimpah alkohol, dan sejak penyempurnaan distilasi pada Abad Pertengahan, manusia mengonsumsi banyak alkohol dalam bentuk terkonsentrasi. Di seluruh dunia, orang berusia 15 ke atas minum sekitar satu gelas sehari—atau lebih tepatnya dua gelas sehari kalau hanya memperhitungkan peminum, karena setengah warga dunia tak pernah menyentuh setetes pun.
Jutaan tahun yang lalu, ketika makanan lebih sulit diperoleh, daya tarik etanol dan proses kimia otak yang dipicunya sebagai hadiah karena menemukan buah terfermentasi mungkin merupakan keunggulan persaingan yang penting bagi leluhur primata kita. Pada zaman sekarang, sifat genetis dan neurokimiawi itu mungkin menyebabkan kecanduan alkohol, kata Robert Dudley, yang ayahnya pemabuk.
Karena bersifat memabukkan, etanol selalu menimbulkan kekhawatiran sepanjang sejarah—dan kadang sampai dilarang oleh hukum. Dan dari masa ke masa, berbagai masyarakat kesulitan menemukan keseimbangan.
Contohnya, bangsa Yunani kuno. Bagian penting dalam kehidupan spiritual dan intelektual mereka adalah simposium yang digerakkan oleh anggur—secara terbatas. Dengan mencampur anggur dan air di wadah berhias bernama krater, bangsa Yunani menyuguhi tamu (semuanya lelaki) cawan pertama untuk kesehatan, cawan kedua untuk kenikmatan, cawan ketiga untuk tidur. Setelah cawan ini habis diminum, tamu bijak pun pulang,” kata pujangga jenaka Eubulus memperingatkan pada abad keempat sebelum Masehi, menurut salah satu terjemahan. “Cawan keempat bukan lagi milik kita, tetapi milik kekerasan; cawan kelima milik kerusuhan; keenam sukaria mabuk, ketujuh mata lembam. Kedelapan polisi; kesembilan sakit lever; dan kesepuluh kegilaan dan lempar-lempar perabot."
Mencicipi Sejarah Kita
Sudah 24 jam sejak Zarnkow mencampurkan barli, roti, dan biji-bijian giling dalam botol laboratorium. Campuran itu dibiarkan semalaman, ditutupi piring kertas.
Saat Zarnkow menyalakan lampu, saya dapat melihat bahwa campuran itu sudah berproses, berkat ragi dari adonan asam. Setiap beberapa setik, gelembung besar karbon dioksida naik ke permukaan melalui lapisan buih. Di tengah-tengah terdapat cairan keemasan yang tembus cahaya, menyerupai bir gandum yang dibuat di tangki baja raksasa di pabrik bir sebelah.
Saya dan dia mengamati kendi yang bergelembung, saya sendiri agak resah. “Tidak ada tambahan karbon dioksida, tidak ada bunga hop. Tidak disaring. Ini bukan selera orang Eropa,” kata Zarnkow memperingatkan, agar saya tidak terlalu berharap, seraya menyaring minuman rumahan Sumeria itu melalui saringan kopi. “Tetapi, dulu alternatifnya bukan teh, kopi, susu, jus, atau limun. Ini jauh lebih lezat daripada air hangat yang penuh mikroorganisme.”
Saya menuangkan sedikit ke dalam gelas plastik. Serpih biji-bijian melayang ke permukaan.
Saya menghidunya dengan hati-hati.
Saya menyesap.
Bir itu kecut sekaligus manis, bercita rasa roti dan sedikit jus apel masam di ujung. Bir itu … enak juga sebenarnya. Kalau memejamkan mata, saya hampir dapat membayangkan bir ini mengubah dunia.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR