Para ilmuwan muda India itu duduk di bekas gudang aki yang luas di Bengaluru. Di depan mereka berderet beberapa lelaki dan perempuan yang jauh lebih tua, banyak di antaranya tokoh ternama beruban dari program antariksa India yang dinamis. Badan antariksa Asia pertama yang mengirim pesawat pengorbit ke Mars ini juga mencetak rekor dunia yang hampir tiga kali lipat rekor sebelumnya, dengan meluncurkan 104 satelit ke orbit dalam satu misi sekaligus, pada Februari lalu. Tumpuan perhatian semua orang sekarang adalah perangkat kecil beroda, sebesar oven microwave.
Kru muda itu menjelaskan rencana mereka untuk meluncurkan perangkat ke antariksa dengan roket pada akhir tahun ini, menempatkannya di orbit Bulan hampir 250.000 kilometer dari Bumi. Memandunya hingga mendarat di bulan, dan menyuruhnya menjelajahi permukaan bulan yang tidak rata. Menurut para insinyur TeamIndus, perusahaan mereka akan melakukan semua ini dengan anggaran minim, sekitar Rp870 miliar, sebagian besarnya digalang dari investor swasta.
Ashish Kacholia, yang telah menanamkan lebih dari 13 miliar rupiah dalam perusahaan ini, duduk di bagian belakang ruangan, menyimak diskusi itu. Entah bagaimana, diskusi itu memadukan suasana sidang tesis doktor dengan pertanyaan sulit secepat kilat, dengan suasana Lok Shaba, majelis rendah India yang riuh, santai tak terkekang, semua orang berteriak, ditingkahi oleh tawa. Kacholia sebenarnya tidak perlu seharian di sini untuk memeriksa investasinya ini—bukan investasi terbesar baginya—tetapi dia ingin mendengar dialog terpelajar tentang proyeksi orbit selenosentris (terpusat di Bulan), pemodelan gaya, apoge dan perige, serta dasar yang digunakan “anak-anak” itu untuk menggambar matriks kovarians kesalahan.
“Ini menggairahkan, sungguh,” Kacholia menjelaskan. “Di depan itu anak-anak 25 tahun, 28 tahun, membela perhitungan mereka, hasil kerja mereka, di hadapan para pakar yang memiliki total ribuan tahun pengalaman dan pengetahuan antariksa bangsa ini.” Temannya, S.K. Jain, yang juga investor India terkenal, mengangguk setuju dengan bersemangat. “Anak-anak ini menyulut imajinasi seluruh India,” komentarnya. “Mereka berkata kepada semua orang, Tak ada yang mustahil. ”
Hampir 50 tahun berlalu setelah puncak balapan besar pertama ke bulan, ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet menghabiskan uang rakyat secara besar-besaran dalam upaya mendaratkan manusia pertama di permukaan bulan. Sekarang, ada balapan baru yang seru menuju tetangga terdekat kita di antariksa—kali ini sebagian besar melibatkan modal swasta dan biaya yang jauh lebih rendah. Ganjaran yang terdekat, Google Lunar XPrize (atau GLXP) sebesar $20 juta, akan dihadiahkan kepada salah satu dari lima tim finalis dari seluruh dunia. Mereka adalah tim berdana swasta pertama dalam sejarah yang mencoba mendaratkan kendaraan bergerak di bulan yang mampu mengirim citra bermutu tinggi kembali ke bumi.
Kompetisi ini sengaja meniru sayembara besar berhadiah yang memicu inovasi pada tahun-tahun awal penerbangan, terutama Orteig Prize, yang dimenangkan Charles Lindbergh pada 1927 ketika dia menerbangkan Spirit of St. Louis nonstop dari New York ke Paris.
Seperti perebutan Orteig Prize, kompetisi Lunar XPrize ini menyangkut nama bangsa. Selain India, ada tim dari Israel, Jepang, dan AS, plus satu kelompok multinasional yang mengincar kehormatan itu; bangsa-bangsa lain juga berpartisipasi dalam 16 tim yang lolos ke tahap semifinal tahun lalu.
Seperti banyak hadiah awal di bidang penerbangan, tim mana pun yang juara hampir pasti menghabiskan dana jauh lebih besar untuk menang daripada uang hadiah yang diterimanya, meski semua tim berharap bahwa dengan publisitas global dan “pencitraan” dari kemenangan itu, investasi mereka akan membuahkan laba besar.Hampir seperti keberagaman negara asal mereka, beraneka macam pula pendekatan dan kemitraan komersial yang terlibat dalam memecahkan tiga masalah dasar yang dihadapi—meluncur dari bumi, mendarat di bulan, lalu bergerak untuk mengumpulkan dan mengirim data. Untuk mengatasi tantangan yang terakhir, tiga tim berencana menggunakan varian penjelajah tradisional, sementara dua tim lagi berniat menggunakan pesawat pendarat masing-masing untuk melakukan satu lompatan raksasa bagi kegiatan antariksa swasta: “Meloncat” sejauh 500 meter di bulan, yaitu syarat jarak minimal, alih-alih menyusuri permukaan bulan.
Pada intinya, balapan baru menuju antariksa ini melontarkan pertanyaan yang mungkin terasa menggelikan di era Perang Dingin pada 1960-an, ketika AS rela menghabiskan lebih dari empat persen anggaran federal untuk mengalahkan negara adikuasa lawannya ke bulan: Dapatkah orang memperoleh keuntungan dengan pergi ke antariksa nan luas? Bagi beraneka ragam wiraswasta, ilmuwan, visioner, pendukung, pemimpi, eksentrik, dan orang gila yang terlibat dalam industri antariksa yang sedang berkembang ini, jawabannya adalah ya yang menggebu-gebu.
Presiden John F. Kennedy terkenal pernah menyemangati Amerika pada 1962 untuk “memilih pergi ke bulan pada dasawarsa ini dan melakukan hal-hal lain, bukan karena mudah, tetapi justru karena sulit.” Kini Bob Richards, pendiri dan CEO di Moon Express, yaitu tim Amerika, menawarkan alasan lain. “Kita memilih pergi ke bulan,” katanya, “karena menguntungkan!”
Apakah Richards benar terkait soal itu, dan jika benar, kapan persisnya hal itu akan terbukti, masih sangat tidak jelas. Kemunduran lazim terjadi dalam bisnis antariksa, dan secara realistis, banyak perusahaan mulanya akan mendapat penghasilan terutama dari kontrak pemerintah, bukan pelanggan swasta. Meski demikian, Richards meramalkan bahwa triliuner pertama di dunia kelak adalah wiraswasta antariksa. Mungkin yang menambang helium-3 dari tanah di bulan, yaitu gas yang langka di bumi tetapi melimpah di bulan, dan merupakan sumber bahan bakar potensial untuk fusi nuklir—solusi teknologi energi yang diincar ilmuwan selama puluhan tahun. Atau orang mungkin bisa meraup laba dari asteroid dan benda lainnya yang dekat dengan Bumi, yang dapat ditambang dengan bantuan teknologi robotika untuk memperoleh timbunan emas, perak, platinum, titanium, dan unsur berharga lain yang terkandung di dalam benda itu.
“Ada cek sebesar $20 trilliun di atas sana, menunggu untuk dicairkan!”
“Ada cek sebesar $20 triliun di atas sana, menunggu dicairkan!” kata Peter Diamandis, fisikawan dan insinyur yang turut mendirikan Planetary Resources, perusahaan yang didukung oleh sutradara film Avatar, James Cameron, dan beberapa miliarder teknologi. Planetary Resources juga mengakuisisi perusahaan Asterank. Situs web Asterank menyajikan data ilmiah dan memproyeksikan nilai ekonomis penambangan untuk lebih dari 600.000 asteroid.
Diamandis juga pendiri dan ketua direksi XPrize Foundation, yang mensponsori beberapa kompetisi berhadiah lain yang dirancang untuk memperluas inovasi dan teknologi di beragam bidang seperti kecerdasan buatan, matematika, energi, dan kesehatan global. Tujuan kompetisi Lunar XPrize, kata Chanda Gonzales-Mowrer, direktur senior yayasan itu, adalah turut merintis jalan menuju “zaman baru akses yang terjangkau ke bulan dan lebih jauh lagi.”
Dulu, seluruh dunia memuji kiprah berani Lindbergh, yang kemudian mengobarkan minat dalam penerbangan sipil. Demikian pula, kompetisi bulan ini ditujukan untuk memicu minat masyarakat tentang para pelopor antariksa swasta, yang sudah mampu mengantar kargo ke Stasiun Luar Angkasa Internasional serta meluncurkan satelit, roket orbit, dan modul uji. Tak lama lagi, pesawat mereka mungkin mengangkut penumpang: Virgin Galactic—yang disebut oleh pendirinya, miliarder Richard Branson, sebagai “maskapai antariksa komersial pertama di dunia”—menyatakan bahwa mereka sedang bersiap-siap membawa penumpang dalam tur antariksa singkat.
Tur ini menyajikan pengalaman gravitasi nol dan pemandangan bumi yang menakjubkan. Pendiri SpaceX, Elon Musk, mengumumkan pada Februari bahwa perusahaannya akan menerbangkan dua warga sipil yang belum disebut namanya, pada akhir 2018, untuk mengelilingi bulan dengan naik pesawat antariksanya, Dragon. Dua bulan kemudian pendiri Amazon, Jeff Bezos, berkata dia akan menjual saham senilai satu miliar dolar untuk mendanai Blue Origin, perusahaan wisata antariksa dan komersial miliknya sendiri.
Ada banyak alasan untuk skeptis tentang seberapa cepat berbagai perusahaan ini mampu membawa penumpang pribadi ke antariksa. Ingat saja, kecelakaan pesawat penumpang antariksa purwarupa milik Virgin Galactic pada 2014 menghambat kemajuan perusahaan itu beberapa tahun. Dan meskipun lomba Lunar XPrize tampaknya akan segera melahirkan juara, masih banyak rintangan yang harus diatasi: antara lain kemungkinan terlewat tenggat atau gagal uji roket pra-peluncuran. Selain itu, mungkin saja lomba ini ternyata tidak terlalu menarik minat masyarakat. Soalnya, lomba kali ini tidak mengandung drama dan ketegangan seperti pendaratan di bulan dan kepulangan astronaut ke bumi pada 1969, prestasi yang mengawali era penjelajahan manusia di permukaan bulan, yang ternyata hanya berlangsung tiga tahun. Penjelajah bulan tanpa awak pun sudah puluhan tahun berkeliaran: Ketika Tiongkok mendaratkan Yutu pada 2013, negara itu menjadi negara ketiga yang mendaratkan penjelajah di bulan.
Jadi, coba jawab: Apa hebatnya?
“Yang baru adalah biaya ke antariksa terus merosot, dan dengan drastis,” kata John Thornton, direktur utama di Astrobotic, per-usahaan bermarkas di Pittsburgh yang bertujuan “menyediakan akses ke bulan bagi dunia”, dengan jasa logistik yang dapat mengangkut segala sesuatu, dari eksperimen untuk universitas hingga MoonMail untuk pelanggan yang ingin meninggalkan sesuatu di permukaan bulan—surat, foto, berkas rambut dari orang tercinta yang sudah berpulang.
“Perusahaan seperti kami dapat menghitung dan menunjukkan kepada investor bahwa rencana bisnis kami bisa menguntungkan,” kata Thornton. “Baru beberapa tahun yang lalu, ini masih wilayah fiksi ilmiah.”
Jika balapan mendaratkan manusia di bulan itu ibarat membangun komputer raksasa sebesar ruangan yang sangat mahal pada masa awal teknologi tinggi, balapan zaman sekarang itu ibarat suatu era lain dalam komputer: balapan menempatkan komputer terjangkau di meja semua orang atau, beberapa tahun kemudian, di telepon semua orang. Komputer masa kini begitu mungil—dan baterai yang mendayainya begitu ringkas—sehingga kita dapat mencapai bulan dengan perangkat yang semakin kecil dan semakin murah. Kita tidak perlu lagi penjelajah sebesar mobil golf di bulan. Mesin generasi baru yang menjelajahi, memetakan, dan bahkan menambang lanskap bulan mungkin hanya sebesar truk mainan. Itulah terutama faktor pendorong di balik perekonomian antariksa zaman sekarang.
“Bayangkan penjelajah-mikro dan CubeSats mini,” kata William L. “Red” Whittaker, ahli robotika legendaris dan perintis dalam teknologi penjelajah dan mobil kendali-mandiri. “Perkembangan saat ini sungguh mencengangkan. Ukuran kecil itu merupakan terobosan besar. Mungil.”
Segi fisika penerbangan manusia ke antariksa tetap rumit—manusia tidak akan mengecil atau semakin ringkas, jadi tetap diperlukan banyak bahan bakar untuk membawa kita ke sana—tetapi, semua kemajuan ini mungkin saja memunculkan metode yang lebih kecil, lincah, murah untuk membawa manusia kembali ke bulan dan lebih jauh lagi.
Bahkan, menurut sebagian orang di industri antariksa, mungkin kelak bulan bukan lagi tujuan perjalanan, melainkan semacam bandara raksasa yang dilalui untuk pergi ke tempat lain, karena dengan gravitasi seperenam bumi, meluncur dari bulan akan lebih murah dan lebih mudah secara teknis, sehingga bulan adalah pos singgah ideal untuk menjelajahi alam semesta.
Air, yang kini terperangkap dalam bentuk es di kutub bulan, akan menjadi darah kehidupan dan sumber bahan bakar: air untuk minum, air untuk mengairi tanaman, dan air untuk diuraikan menjadi oksigen dan hidrogen, zat pertama untuk bernapas dan zat kedua untuk mendayai pesawat antariksa, untuk terbang lebih jauh dari pangkalan bulan ini. Sekali lagi, apakah itu akan terbukti benar, dan kalau ya, kapan, masih belum diketahui. Tetapi, yang pasti untuk saat ini, tujuan pertama dalam industri antariksa yang berkembang ini sudah jelas: Bulan.
Untuk menyaksikan misi uji Tim Hakuto—peserta Jepang dalam lomba Lunar XPrize—saya datang ke wilayah terpencil berangin di Jepang bagian barat yang bernama Bukit Pasir Tottori. Selama berhari-hari hujan turun deras, dan mendera pesisir. Hujan yang tidak mirip bulan sama sekali, menenggelamkan kondisi yang tepat untuk menguji penjelajah bulan. Di losmen pemuda di dekat sana, pemimpin tim Takeshi Hakamada dan rekan-rekannya merasa gelisah. Mengenakan jaket kelabu keren yang berlogo kelinci (Hakuto adalah kelinci putih mitos dalam cerita rakyat Jepang), sambil menenggak minuman energi, mereka terus mengutak-atik perangkat lunak yang dengan cermat meniru jeda komunikasi 2,5 detik antara Bumi dan Bulan, yang berjarak hampir 250.000 kilometer.
Lalu, suatu malam tiba-tiba langit cerah dan bintang bermunculan. Di tengah kerisik walkie-talkie, tim Hakamada mengangkut begitu banyak laptop, tablet, dan sensor melewati tanah terbuka di tengah hutan dan ke bukit pasir. Lalu datanglah—sepasang robot penjelajah yang dirancang untuk bekerja sama saat berada di bulan, tetapi bisa juga bekerja terpisah, dan inilah yang diharapkan Hakamada dapat meraup laba.
Tim Hakuto memiliki penjelajah roda empat—dijuluki Sorato oleh awak, seperti lagu dari grup musik rock alternatif Jepang—yang dalam misi-misi masa mendatang setelah XPrize, akan ditambatkan ke robot dua-roda oleng yang terpisah. Kedua unit ini terbuat dari komponen serat karbon yang kuat dan sangat ringan. Hakamada, lelaki kurus pemikir dengan rambut acak-acakan yang sudah menggemari antariksa sejak pertama kali menonton Star Wars semasa SD, berkata bahwa robot yang kecil dapat diturunkan jauh ke dalam celah, terowongan lahar, dan gua. Robot itu akan mengumpulkan data penting di tempat seperti itu, yang kelak dapat digunakan sebagai habitat-sementara untuk pangkalan bulan di masa depan, melindungi manusia beberapa lama sementara rumah yang lebih permanen dibangun.
Perusahaan bermarkas di Tokyo yang dipimpin Hakamada, iSpace, berencana me-manfaat-kan kemajuan Jepang dalam miniatur-isasi teknologi untuk menyelidiki, memotret, memetakan, dan memodelkan bulan dengan perincian yang jauh lebih tinggi daripada foto atau hasil pengujian tanah dari misi-misi penjelajah bulan sebelumnya.
“Kami ikut untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kami memiliki teknologi praktis yang bisa menghasilkan informasi penting yang orang mau beli.”
“Kami ikut lomba ini bukan hanya untuk memenangkan hadiah, meskipun itu menyenangkan,” kata Hakamada sebelum pengujian. “Kami ikut untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kami memiliki teknologi praktis yang bisa menghasilkan informasi penting yang orang mau beli.”
Dengan roda yang agak mirip kincir air kuno, penjelajah utama sampai di “titik pendaratan” di bukit pasir, yang menyimulasikan permukaan bulan yang kasar. Robot itu akan menumpang di peluncuran pada akhir Desember oleh Indian Space Research Organisation, badan pemerintah yang roketnya juga akan membawa penjelajah bulan TeamIndus. (Untuk memenangkan XPrize, suatu tim harus diluncurkan selambat-lambatnya 31 Desember 2017, tetapi boleh merampungkan misi pada awal 2018.)
Bukit Pasir Tottori terasa sepi saat mendekati tengah malam. Deru laut diredam oleh tebing. Penjelajah kecil Hakuto tampak agak kesepian di bukit pasir itu. Hakamada dan awaknya mengoordinasi serangkaian perintah yang dimasukkan ke komputer melalui keterlambatan waktu bulan, dan tiba-tiba penjelajah itu hidup diiringi suara klik, melintasi pasir dengan mulus, bergerak hanya beberapa sentimeter per detik. Robot itu dengan benar mendeteksi dan mengitari beberapa rintangan yang ditempatkan di jalurnya. Kemampuan ini penting di bulan, yang memiliki batu atau parit cukup besar yang dapat menggagalkan seluruh misi.
“Hasil uji penjelajah itu bagus,” kata Haka-mada kemudian, berseri-seri bangga seperti ayah yang baru punya anak. Bahkan, katanya, keyakinannya pada kemampuan robot itu bukan lagi tantangan terbesar baginya. “Kami meyakini bahwa masalah terbesar dalam inovasi antariksa sekarang bukanlah teknologi itu sendiri, tetapi sisi bisnisnya. Untuk membuka pasar baru di antariksa, kita harus meyakinkan orang bahwa ini sungguhan—dan merombak stereotip lama bahwa hanya badan pemerintah besar yang mampu melakukan penjelajahan seperti ini.
“Itulah hebatnya lomba ini,” tambahnya. “Siapa pun yang menang akan menunjukkan bahwa ini bisa dilakukan.”
Beberapa langkah dari Samudra Atlantik, di sepetak besar tanah belukar Florida, Space Launch Complex (SLC) 17 di Cape Canaveral sekilas tampak seperti terbengkalai. Dari 1957 hingga 2011, tempat ini digunakan untuk peluncuran roket Thor dan Delta, yang pertama untuk misil balistik pertama AS, yang kedua untuk satelit dan probe tata surya serta untuk pengamatan matahari lebih dekat.
Pada malam Maret yang cerah tahun ini, di SLC-17 hanya terdengar semilir angin dari laut, bersiul di antara menara-menara berkarat di kompleks itu. Tetapi, di balik pintu terkunci di bekas gudang perawatan, kendaraan purwarupa milik perusahaan AS pertama yang mendapat persetujuan pemerintah untuk misi antariksa di luar orbit bumi sudah siap turun ke pantai—dalam perjalanan yang tujuan akhirnya ke bulan.
Bagi Bob Richards, yang dulu menjadi asisten astrofisikawan ternama Carl Sagan dan sekarang kepala Moon Express, keindahan desain pendarat MX-1E milik perusahaan itu adalah manfaatnya yang bertujuan ganda. “Penjelajah tidak diperlukan sama sekali kalau pesawat pendarat dapat melakukan fungsi yang sama,” kata Richards kepada saya. Bahkan, tambahnya, Lunar XPrize Google terlalu sering disalahpahami sebagai lomba penjelajah.
“Tantangan terbesar GLXP adalah pendaratan di bulan,” katanya. “Penjelajah tidak dapat mendarat sendiri di bulan, dan sebenarnya istilah ‘penjelajah’ tidak muncul sama sekali dalam peraturan lomba, hanya syarat untuk bergerak sejauh minimal 500 meter.”
Maka, lahirlah ide untuk meraih kemenangan dengan cara melompat-lompat dengan bantuan roket pendorong. Setelah peluncuran roket awal ke orbit rendah bumi, MX-1E—pesawat antariksa robot satu-tahap yang berbentuk dan berukuran seperti R2-D2 yang terkenal dari Star Wars—akan terbang menggunakan hidrogen peroksida sangat-pekat sebagai propelan utama, untuk melesat secepat peluru dalam perjalanan ke Bulan. Setelah masuk orbit Bulan, kendaraan Moon Express akhirnya akan melakukan “pendaratan lunak” (demikian istilah eufemistis para insinyur): Meski dilengkapi pembalik gaya dorong, kecepatan pendaratan vertikal itu masih tinggi, jadi perlu diredam dengan sistem kaki-pendaratan fleksibel yang mampu menyerap benturan, sehingga kondisinya cukup baik untuk menghadapi langkah misi berikutnya. Dengan sedikit propelan yang tersisa, MX-1E akan melompat jauh satu kali—atau mungkin melompat pendek beberapa kali—untuk menempuh jarak yang disyaratkan untuk memenangkan XPrize.
Dengan kecerdasan khas TED Talk dan reputasi pintar bicara (yang tak selalu positif) di industri ini, Richards membuat semua ini terdengar dapat terwujud dengan cemerlang, sehingga kita tergoda untuk berinvestasi. Tetapi, ada alasan untuk menutup dompet. Moon Express kini dijadwalkan diluncurkan bukan bersama pengangkut yang teruji seperti SpaceX, dengan lini roket Falcon. Akan tetapi, bersama Rocket Lab, perusahaan bermarkas di AS yang situs peluncurannya terletak di Selandia Baru yang dibuka September silam.
Pengujian baru dimulai tahun ini, yang berarti perusahaan ini memiliki jadwal yang sangat ketat agar dapat mencapai persyaratan XPrize, yaitu melakukan peluncuran sesungguhnya sebelum akhir tahun. Dulu sudah pernah ada perpanjangan tenggat tahap, tetapi XPrize berkata mereka berkomitmen untuk segera mengakhiri lomba ini. Jadi, lomba itu bisa saja berakhir tanpa pemenang, meski petinggi yayasan bersikeras bahwa mereka “sungguh-sungguh ingin ada yang menang.”
Tim lain yang ingin melompat untuk mencapai jarak yang diperlukan untuk menang bermarkas di kompleks kecil gedung industri di pinggiran Tel Aviv. Pemimpinnya juga berapi-api seperti Richards.
“Visi kami adalah mencipta ulang ‘efek Apollo’ di sini di Israel, menginspirasi generasi muda untuk berprestasi dalam sains dan teknologi,” kata Eran Privman
“Visi kami adalah mencipta ulang ‘efek Apollo’ di sini di Israel, menginspirasi generasi muda untuk berprestasi dalam sains dan teknologi,” kata Eran Privman, direktur utama SpaceIL, yang pengalaman hidupnya bermacam-macam, termasuk pengalaman tempur sebagai pilot di Angkatan Udara Israel; gelar doktor dalam ilmu komputer dan ilmu saraf dari Universitas Tel Aviv; dan beragam jabatan penelitian, pengembangan, dan eksekutif untuk beberapa perusahaan teknologi besar di Israel. Maksudnya adalah dampak program antariksa Apollo pada kaum muda pada 1960-an dan ’70-an, ketika misi itu mengilhami banyak pendiri perusahaan teknologi canggih terkemuka masa kini.
Dengan ukuran kira-kira sebesar kulkas kecil tapi berbentuk lebih bundar—agak mirip piring terbang—pendarat SpaceIL diharapkan memiliki bobot 600 kilogram saat melepaskan diri dari roket SpaceX Falcon 9, meski sekitar dua per tiga bobot itu adalah bahan bakar yang akan habis terpakai saat pesawat siap mendarat. Dengan sisa daya pantul pada kakinya yang mirip dengan MX-1E, pendarat ini akan menggunakan sedikit bahan bakar yang tersisa untuk melompat sejauh setengah kilometer, yang ditetapkan dalam aturan XPrize.
Partisipasi Israel ini dimulai pada akhir 2010, dari “tiga orang gila yang tidak punya uang terlalu banyak, tetapi berpikir bahwa pasti keren sekali kalau mereka mendaratkan robot di bulan.” Demikianlah gambaran salah satu pendiri, Yariv Bash, tentang awal-mula upaya ini. Mereka bekerja keras hingga detik-detik terakhir untuk memenuhi tenggat pertama lomba, yaitu menunjukkan rencana strategi pendaratan dan aset sejumlah minimal $50.000.
“Kami meminta uang kepada siapa pun,” Bash mengingat. “Sampai-sampai saya mengigau minta uang kepada istri.” Meskipun kurang modal, kelompok ini tidak kekurangan kepakaran: Bash adalah insinyur komputer dan elektronik yang pernah memimpin pekerjaan litbang untuk satuan intelijen Israel. (“Anda tahu Q di film James Bond?” tanya Bash sambil mengedipkan mata. “Mirip-mirip itu.”)
Desain awal mereka jauh lebih kecil—salah satunya sekecil botol soda dua liter—dibandingkan pendarat yang sedang mereka rakit pada musim panas ini dengan komponen dari seluruh dunia. Dan tanpa mencari keuntungan, SpaceIL akhirnya menjadi satu-satunya lembaga nirlaba dalam jajaran peserta XPrize yang tersisa, dengan pendanaan melimpah dari dua miliarder terkenal, yaitu wiraswasta teknologi Morris Kahn dan tokoh kasino Sheldon Adelson. Misinya kini pada dasarnya ada dua—memenangkan hadiah, tentu saja, serta mendidik dan menginspirasi generasi baru pemimpin teknologi potensial.
Seperti di India, kebanggaan bangsa jelas dipertaruhkan di sini. Praktis semua sekolah di Israel sekarang memiliki unit kurikulum tentang upaya SpaceIL, dan anak sekolah akan mengikuti lekat-lekat misi itu setelah meluncur ke bulan, berharap mereka menjadi negara pertama dalam sejarah yang mengirim misi berdana swasta untuk menjelajahi permukaan bulan.
“Kami ingin semua anak di Israel mengakrabi ini,” kata Privman, menambahkan sambil tertawa: “Kami ingin anak-anak ini mampu menjelaskan hal ini kepada orang tua mereka.”
Hakuto, TeamIndus, dan konsorsium internasional yang bermarkas di California bernama Synergy Moon, berencana mengguna-kan penjelajah beroda terpisah untuk me-ngumpul-kan data, dengan menunjukkan adanya celah dalam peraturan: Hakuto dapat menang dengan mensubkontrakkan peluncuran dan pendaratan, hanya perlu mengoperasikan penjelajah Sorato untuk meraih kemenangan. Gonzales-Mowrer, direktur lomba XPrize, mengatakan itu boleh-boleh saja: “Kami ingin tim-tim ini memikirkan beragam pendekatan untuk menyelesaikan misi ini,” jelasnya. Dari sudut pandang pendanaan, ambang utamanya hanyalah bahwa peserta harus menunjukkan kepada juri XPrize bahwa setidaknya 90 persen uang mereka berasal dari sumber nonpemerintah.
“Seru melihat semua tim membangun jaringan dengan satu sama lain dan dengan donatur luar untuk menekan biaya,” katanya. “Dalam segi itu, tujuan utama lomba ini sudah tercapai.”
Jika kelak ada toko swalayan raksasa untuk perjalanan antariksa, Interorbital Systems, perusahaan utama di balik konsorsium Synergy Moon, bertekad mengisi peran itu. Perusahaan itu bertekad menjadi “penyedia jasa peluncuran berbiaya paling rendah dalam industri antariksa komersial,” kata salah satu pendiri dan direktur utamanya, Randa Relich Milliron. Untuk melakukan ini, perusahaan akan membangun roket dengan unit modular standar; sebisanya menggunakan komponen generik, termasuk slang pengairan industri; dan bereksperimen dengan bahan bakar lebih murah, seperti terpentin sebagai bahan bakar pendorong.
Di kantornya di Mojave Air & Space Port di gurun pasir California, sekitar 160 kilometer di sebelah utara pusat kota Los Angeles, Milliron dengan bangga menunjuk brosur perusahaan, yang menjual Kit Satelit Pribadi TubeSat swakriya seharga sekitar $16.000, harga yang “Termasuk Peluncuran Gratis!” dan dapat turun hingga $8.000 untuk pelajar. Pembelinya dapat merakit tabung (tersedia juga CubeSat yang lebih mahal) dan memasang alat kecil tambahan apa pun yang muat, misalnya kamera untuk melacak hewan migrasi dari orbit atau sensor yang dapat memantau kondisi cuaca. Perusahaan itu berencana meluncurkan semua satelit pribadi tersebut ke orbit 309 kilometer di atas bumi, cukup tinggi agar satelit tersebut dapat beroperasi selama tiga minggu hingga dua bulan, lalu perangkat akan terbakar dengan aman setelah masuk kembali ke atmosfer.
Milliron dan suaminya, Roderick, sudah 20 tahun lebih berupaya meluncurkan perusahaan—dan roketnya. Boleh dibilang bahwa beberapa peserta yang masih bertahan dan yang sudah tersisih dalam lomba GLXP mengagumi keberanian mereka tetapi meragukan peluang mereka. Sekalipun mereka sampai ke bulan dengan roket swakriya, rencana mereka untuk menggunakan “throwbot” ubah-suai sebagai perangkat penjelajah di bulan juga disangsikan banyak pihak. (Throwbot, atau robot yang dapat dilempar, sering digunakan oleh militer, polisi, dan damkar untuk menjadi “mata” video di lokasi yang terlalu bahaya untuk dimasuki.
Menurut suami-istri Milliron, peluncuran awal mereka akan dilakukan dari tongkang di laut di lepas pantai California. Dengan anggaran kecil yang tak disebut jumlahnya, tetapi dengan mimpi besar yang diuraikan panjang lebar, sulit menilai entri Synergy Moon dalam lomba antariksa ini, yang menjadi proyek utama perusahaan mereka. Tim ini memang memiliki kontrak peluncuran yang sudah diverifikasi, meski tampaknya mereka mengontrak diri sendiri, karena hanya mereka peserta lomba yang berencana melakukan sendiri semua hal yang disyaratkan untuk menang.
“Kadang kami merasa seperti pembelot atau orang buangan, karena membangun roket sendiri,” kata Randa Milliron
“Kadang kami merasa seperti pembelot atau orang buangan, karena membangun roket sendiri,” kata Randa Milliron saat mengajak saya berkeliling bengkel Interorbital. “Tetapi, justru itulah intinya. Kami ini pendobrak. Kami ingin menunjukkan kepada dunia bahwa semua dapat dilakukan dengan biaya yang jauh lebih rendah.”
Kelima tim ini berambisi untuk menang. Akan tetapi, mereka juga ternyata ramah dengan pesaingnya. Selama beberapa tahun terakhir, sementara jumlah tim secara resmi menyusut dari 29 menjadi 16 lalu menjadi lima pada saat artikel ini ditulis, salah satu tim mengadakan pertemuan tingkat tinggi tahunan untuk semua tim, serta pejabat XPrize Foundation, yang diisi dengan presentasi jujur dari setiap pemimpin tentang keberhasilan dan hambatan yang dialami. Persekutuan terbentuk, seperti kesepakatan antara TeamIndus dan Hakuto untuk berangkat bersama di roket badan antariksa India dan pendarat Indus, dan baru bersaing setelah sampai ke bulan. Ada industri baru yang sedang dilahirkan.
“Tema ‘Ya Kita Bisa’ sangat terasa di sini,” kata Rahul Narayan, pemimpin karismatis TeamIndus. “Inilah saatnya. Bagaimana per-kembangan semua ini ke depan, saya tidak tahu. Saya kira tidak ada yang tahu. Tetapi, sekaranglah saatnya.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR