Napas masih tersengal. Jantung masih berdegup kencang. Keringat mengalir deras. Saya baru saja sampai di lantai pelataran Gereja Quiapo, Manila, Filipina. Tangan pun langsung meraih air suci yang tergantung di pintu. Saya membungkukkan badan untuk menghormati empu dunia ini. Itulah pertanda saya memasuki gereja sebagai bangunan suci bagi umat Katolik.
Menjelang perayaan Paskah, dalam minggu suci, umat Katolik Filipina memiliki ritual mengunjungi tujuh gereja untuk berdoa. Kamis Putih atau Jumat Agung adalah waktu mereka melaksanakan Visita Igelsia. Inilah perayaan yang diperkenalkan pertama kali oleh para misionaris Agustin pada 1560-an. Angka tujuh melambangkan hari penciptaan dan luka kudus.
Waktu kunjungan saya tidak bertepatan dengan perayaan Paskah. Melihat bangunan-bangunan yang memiliki beragam langgam arsitektur eropa. Saya pun memodifikasi Vista Iglesia. Waktu dan lokasi gereja disesuaikan dengan keinginan saya. Utamanya, gereja-geraja itu saling berdekatan dan mudah dijangkau. Kemauan untuk menyaksikan sisa perjalanan misionaris di Manila menjadi dasar saya mencoba mengikuti ritual Visita Iglesia.
Upaya saya menerobos kerumunan orang di sekitar Quipao tak juga membuat saya tepat waktu menghadiri misa pertama. Bukan karena berniat mengikuti misa, melainkan saya ingin melihat bangunan ini secara saksama tanpa mengganggu umat yang khusyuk bermisa mingguan.
Berada di tepi jalan Quezon Boulevard, bangunan coklat muda ini memang agak mencolok ketimbang gedung di sekitarnya. Sebenarnya mudah menjangkaunya, namun saya ingin menikmati perjalanan tanpa menggunakan kendaraan pribadi. “Jeepney”, kendaraan umum beroda empat yang menjadi transportasi andalan selama saya berada di Manila. Saya segera turun dari jeepney begitu jarak GPS di telepon pintar menunjukan seratus metermenjelang titik bangunan Gereja Quiapo.
Di sela koridor dan kursi panjang akhirnya saya bersujud dan menderaskan doa syukur. Tak banyak waktu mengelilingi bagian dalam bangunan. Selain karena tidak mau mengganggu umat yang sedang berdoa, saya ingin menikmati suasana senja menjelang matahari terbenam di pelataran gereja. Suara riuh kehidupan khas kota metropolitan terdengar jelas dari balik dinding bangunan. Namun, keramaian ini tak mengurangi suasana takzim di dalam gereja.
Ketika beranjak keluar, saya menjumpai suasana hiruk pikuk yang menjejali pandangan dan pendengaran. Kontras dengan suasana di dalam. Pagar besi berwarna putih, pagar yang membatasi antara kawasan gereja dan kawasan publik. Di seberangnya saya menyaksikan Plaza Miranda.
Gereja Quiapo terkenal dengan patung Yesus yang dinamai Black Nazarene. Warga Manila menyebut gereja ini dengan nama “The Minor Basilica of the Black Nazarene”. Patung setinggi satu meter ini terlihat ditutupi dengan jubah warna merah marun. Mahkota berduri berbentuk tiga sinar perak melengkapi Black Nazarene.
Patung ini dibuat oleh seniman asal Meksiko. Dibawa hingga ke Manila pada 1606. Awalnya, patung ini berada di kawasan Intramuros. Kemudian dipindahkan ke Gereja Quiapo pada 1790-an, sebelum gereja ini terbakar untuk kedua kalinya.
Suasana hiruk pikuk sekitar bangunan gereja seolah-olah menggambarkan dua dunia yang berbeda. Perjalanan ini memberikan beragam rasa dalam melihat perbedaan antara dunia religi dan dunia kehidupan warga Manila. Hanya sekat pintu dan pagar gerejalah yang membatasinya.
Menurut catatan sejarah, Distrik Quiapo merupakan sebuah desa nelayan yang berkembang. Sungai Pasig mengalir di dekat distrik ini terhubung langsung dengan Teluk Manila yang merupakan terusan dari Laut Cina Selatan. Aliran sungainya bercabang dan berpotongan membentuk daerah kanal dan rawa. Di permukaannya tumbuh waterlily, tanaman air yang tumbuh di daerah tropis.
Distrik Quiapo berkembang menjadi daerah pusat perdangan serta pusat keramaian yang ditandai dengan tumbuhnya aneka bangunan seperti gedung teater dan pasar. Selain menjadi pusat perdagangan, Quiapo berkembang menjadi kawasan hunian bagi orang kaya pada zamannya.
Di seputaran Gereja Quiapo, berdiri aneka bangunan modern sebagai lambang pusat perdagangan: Plaza Miranda dan Manila City Plaza. Keduanya mengapit gereja yang dibangun pertama kali pada 588. Plaza Miranda adalah bangunan perdagangan yang pernah dibom pada 1972.
Pusat perdangangan ini tak hanya terlihat di dalam gedung saja. Banyak pedagang yang menggelar dagangannya di bagian luar bangunan hingga mendekati pagar Gereja Quiapo. Segala barang tersedia mulai dari kepingan DVD bajakan, makanan, hingga busana. Hingar-bingar perdagangan sangat gamblang. Suara pedagang berlogat Tagalok riuh bak meriam menawarkan barang dagangan, berkecamuk dengan suara musik mendengking yang diputar sederetan lapak penjual DVD. Ah, seperti pasar malam di Tanah Air!
Satu lagi, saya menjumpai banyak jasa peramal. Di sini dikenal sebagai pusat peramal. Mereka akan memberikan penerawangan dan peruntungan masa depan. Juga, menyediakan semacam jimat agar terhindar dari kebuntungan. Beberapa orang peramal menyebut diri mereka sebagai bentuk pengabdian kepada Black Nazarene.
“Tidak! Peramal tidak ada kaitannya dengan yang ada di sini,” ujar Antonio, warga Manila yang berjaga di dekat pintu Gereja Quiapo. Beberapa orang, termasuk saya, mungkin berpikir keberadaan para peramal ini sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum gereja. Akan tetapi, bagi sebagian orang, fenomena ini sangatlah menarik karena mereka mendapatkan ramalan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Bahkan, setelah mendapatkan ramalannya, mereka berdoa ke gereja agar ramalan baik semoga menjadi kenyataan sedangkan ramalan buruk semoga ditanggalkan. Sungguh pemandangan kontras.
Konon, Quiapo terkenal juga sebagai tempat penyedia jasa aborsi illegal. Bayi-bayi yang lahir dari pasangan yang tidak bertanggung jawab itu diletakkan begitu saja di sekitar gereja. Saya dengan waktu yang terbatas mencoba mengungkap fakta ini tetapi tidak satu pun orang yang saya temui mau memberikan informasi.
Jangan menilai gedung hanya dari penampilan luarnya. Mungkin itu yang saya rasakan ketika berdiri di tepi jalan Quintin Paredes Manila. Persis di samping Plaza Lorenzo Ruiz. Saya menghadap gereja Binodo atau dikenal juga dengan nama gereja Minor Basilica of St. Lorenzo Ruiz.
Berdiri memandang bangunan gereja yang dibangun sekitar 1596, serasa memandang bangunan tua di Spanyol. Material ekspos berupa batu alam dan batu bata terlihat lapuk. Rumput dan ilalang tumbuh dengan bebas di sela-sela dinding tembok luar gereja. Saya sempat ragu apakah bangunan itu adalah bangunan gereja yang masih difungsikan atau tidak.
Saya bertanya kepada seorang lelaki tua yang sedang sibuk mengatur lalu lintas di depan gereja. Hanya ingin memastikan apakah bangunan ini adalah gereja yang dimaksud dalam rencana saya. Sambil mengangguk dan berbicara dalam bahasa Tagalok ia menjawab pertanyaan saya.
Saya masuk melalui pintu besi yang dihiasi kaca patri berwarna merah, hijau, dan kuning. Jujur saya terkesiap melihat bagian dalam bangunan gereja ini. Kendati tampak luarnya lawas, ruangan dalamnya sungguh berbeda. Tampaknya ruangan dalam gereja sudah mengalami perubahan. Gereja ini pernah dibom pada Perang Dunia Kedua, 1944. Terbakar dan hampir semua strukturnya rubuh. Hanya bagian depannya saja yang masih berdiri tegak.
Dindingnya dihiasai berbagai lukisan. Saya menyaksikan lukisan mencolok pada langit-langit. Salah satu lukisannya adalah Nuestra Senora de Santisimo. Sebagian dindingnya adalah batu granit, sementara lantainya berlapis marmer. Beberapa sudut di dekat pintu utama, penutup lantainya berupa potongan batu nisan beraksara Tiongkok dan Latin.
Seperti yang dilakukan setiap kali saya memasuki bangunan gereja, kaki berlutut sambil pandangan tertuju ke meja altar sebagai lambang menghormati pemilik alam semesta ini. Saya bisa duduk di bangku karena saat itu tidak ada misa yang berlangsung.
Tanpa mau berlama-lama, saya pun melangkahkan kaki keluar melalui pintu yang berada di samping. Berniat mencari pengalaman baru, menyaksikan keunikan sekeliling pekarangan Gereja Binodo.
Di samping bangunan gereja Binondo ini ternyata langsung berupa jalan raya Ongpin dan terhubung dengan trotoar pejalan kaki. Wajar saja pintu samping itu terkunci. Demi keamanan pintu tertutup jika ada tidak ada jadwal misa. Melihat kondisi fisik dindingnya pun sama seperti kondisi dinding fasadnya. Di beberapa titik tumbuh tanaman ilalang.
Berjalan ke arah samping ini saya melihat sebuah jalanan lurus yang ternyata adalah kawasan Chinatown-nya Manila. Saya menyusuri jalan Quintin Paredes, jalan utama di dekat gereja. Jalan ini dalam bahasa Hokkien disebut Chiu Wah Hua yang berarti seperti sebuah kanal tempat bongkar muat barang. Jalanan ini dekat dengan Sungai Pasig yang dahulu tempat bongkar muat barang dagangan yang dibawa melalui sungai.
Binondo sengaja dirancang sebagai kawasan perdagangan pada saat pendudukan Spanyol pada 1594 di bawah penguasa Gubernur Luis Perez Dasmarinas. Kaum pedagang dari Tiongkok yang mendarat di Binondo menikah dengan wanita asli Filipina. Gereja Binondo merupakan salah satu saksi akulturasi kaum Tiongkok dengan warga asli Manila.
Satu lembar 500 peso saya keluarkan dari dompet. Petugas loket menerimanya. Sambil menunggu uang kembalian, saya memperhatikan lembaran tiket berwarna orange. Satu lembar tiket bernilai seratus peso—setara 30 ribu rupiah. Inilah tiket masuk museum Gereja San Agustin.
Saya memutar langkah mengurungkan niat masuk Gereja San Agustin karena dari pintu gerbang utama saya bisa melihat gereja sedang digelar misa pernikahan. Saya bergegas menuju bangunan di sebelahnya: pintu masuk museum.
Sebuah lonceng raksasa! Tingginya, yang sekitar dua meter, tampak menghadang pandangan saya. Lonceng raksasa seberat 3.400 kilogram ini dahulu berada di salah satu menara yang menjadi bagian gereja. Peristiwa gempa pada 1863 mengakibatkan menara itu hancur. Salah satu bencana dengan daya rusak terbesar yang menghantam Manila. Selain gempa, menurut catatan sejarah, Gereja San Agustin pernah kebakaran. Lengkaplah dera nestapanya.
Menara yang rusak karena gempa itu tidak dibangun ulang. Sisa reruntuhannya diperbaiki, namun tidak dirancang kembali sebagai rumah lonceng. Sejak 1927, lonceng itu menjadi salah satu penghuni museum.
Denah arsitektur museum berbentuk persegi, dengan lorong-lorong panjang di setiap sisinya. Salah satu bagiannya menyatu dengan gereja. Dengan bentuk persegi ini, saya bisa memilih rute yang akan saya tempuh untuk menikmati museum.
Saya memutuskan untuk mengambil rute searah jarum jam. Artinya, setelah ruangan penyimpanan lonceng, saya berbelok ke kiri lalu menelusuri lorong panjang. Artefak gereja, patung, dan lukisan berbagai misionaris yang datang ke Manila terpampang di dinding lorong museum.
Di salah satu ujung lorong terdapat pintu yang kala itu terbuka. Pintu ini menghubungkan antara museum dengan bagian depan gereja atau bagian mimbar imam yang digunakan saat perayaan misa. Saya tidak melepaskan kesempatan melihat langsung depan gereja yang rancangan bangunannya dibuat oleh arsitek Juan Macias. Sejenak saya pun berdoa dengan bersujud di dekat salah satu bangku di lajur paling kiri.
Tangga museum ini bukan dari beton, melainkan batu granit abu-abu. Menaiki anak tangga ini ibarat meniti naik tangga di Hogwarts bersama Profesor Dumbledore yang diiringi mantra-mantra ajaib.
Ruang pertama selepas menapaki anak tangga adalah “San Pablo Room” dan “San Agustin Room”. Lukisan, maket bangunan, foto mengenai gereja dan museum terpampang dengan sangat jelas.
Sambil menyandarkan tangan ke pagar pembatas ruang mezanin, sejenak saya menikmati bangunan yang masuk dalam daftar warisan dunia ini. Pada 1993, UNESCO menetapkan San Agustin sebagai bangunan yang dilindungi. Gereja itu juga dinobatkan oleh pemerintah Filipina sebagai National Historical Landmark pada 1976.
Di atas jalan berlapis potongan batu, saya melangkah menyusuri Intramuros, sehamparan kawasan tua, tempat gereja San Agustin berada. Intramuros, yang dibangun pada 1671, merupakan salah satu bukti bangsa Spanyol menjajah Filipina. Kawasan seluas 64 hektare ini merupakan bekas tempat berlindung, dikelilingi oleh benteng yang kini disebut dinding tua Spanyol.
Sebelum terjadi Perang Dunia Kedua, masyarakat Manila menjalani Visita Iglesia hanya di dalam Intramuros. Mereka tidak perlu berjalan jauh untuk mengunjungi tujuh gereja. Dahulu, terdapat delapan gereja. Kerusakan berat akibat gempa dan perang telah membuat hanya dua gereja tersisa di Intramuros.
Saya menghentikan langkah untuk memandang gereja lain di kawasan Intramuros. Dari informasi yang terpampang, inilah Gereja Katedral Manila. Sohor dengan julukan Manila Metropolitan Cathedral Basilica atau Cathedral Basilica of the Immaculate Conception.
Saya melihat delapan patung batu yang dipahat menyerupai orang yang dikuduskan oleh umat Katolik pada tapak depannya. Salah tiga dari delapan ukiran perunggu melambangkan ukiran Uskup Domingo de Salazar yang memberkati gereja pada 1579. Gereja ini pernah runtuh akibat gempa 1600, dan Uskup Diego Vasquez de Mercado meresmikan pembangunan kembali pada 1614.
Di sebelah kiri meja altar terdapat kursi Uskup Agung Manila (pemimpin tertinggi gereja Katolik di Manila). Kursi yang dinamai Episkopal Throne ini terbuat dari batu marmer yang diambil dari sebuah tambang di Italia. Keberadaan kursi inilah yang membedakan Gereja Kathedral Manila dengan gereja yang lain. Gereja katedral adalah gereja tempat uskup agung berada.
Gereja Katedral Manila diresmikan pada 1571 oleh Juan de Vivero. Dalam naungan kubah agungnya, terdapat makam para pejabat gereja. Menurut catatan literatur gereja, di sini telah dimakamkan Michael J. O’Doherty (Uskup Agung terakhir Manila), Gabriel M. Reyes (Uskup Manila pertama), dan Kardinal Rufino J. Santos (Kardinal pertama Manila).
Selain pejabat gereja, di sini juga tempat peristirahatan terakhir Presiden Manila. Carlos P. Garcia, presiden Filipina kedelapan yang wafat pada 1971. Presiden Filipina kesebelas, Corazon C. Aquino, yang wafat pada 2009. Keduanya beristirahat dengan tenang di bawah kubah katedral.
Sekilas, jika melihat fisik bangunan, Katedral Manila hampir mirip bangunan Gereja Malate. Tetapi jika dilihat lebih detil lagi, secara langgam aristekturnya berbeda. Gereja Katerdal Manila, dari literatur sejarah memiliki langgam Neo-Romawi yang terinspirasi dari arsitektur Romawi abad ke-12. Hanya detail elemennya, seperti jendela, memiliki lengkungan yang lebih sederhana.
Arsitektur Gereja Malate memiliki kesamaan dengan Gereja Quiapo, Binodo, San Agustin, dan Santa Anna Manila. Semuanya berlanggam arsitektur Barok, langgam yang populer pada tahun 1600-an di Roma, Italia. Bangsa Spanyol membawa pengaruh dalam langgam arsitektur itu ketika mereka menduduki Filipina.
Atap melengkung menyerupati kubah menjadi bentuk struktur atap bangunan Gereja Malate. Di ujung deretan bangku paling depan tampak meja altar dan patung pelindung Nuestra Senora de los Remedios. Patung kini konon dibawa langsung dari Spanyol pada abad ke-16.
Berada di tepi jalan Roxas Boulevard, Gereja Malate dibangun dengan material utama batu dan bata. Kedua material ini mendominasi tampilan permukaan dinding bagian luar gereja yang rampung dibuat pada tahun 1898.
Saya pagi itu masuk gereja Malate dari pintu samping. Jendela setengah lingkaran mendominasi bentuk jendela yang terpasang di dinding samping. Saya duduk di deretan kursi paling belakang, sembari memperhatikan bagian dalam bangunan yang pernah rusak pada 1863.
Mata saya masih mengantuk. Pagi itu saya bergegas merapikan barang bawaan saya kedalam tas ransel. Hari minggu itu adalah hari terakhir saya berada di Manila. Andrew, sopir taksi yang membawa saya pulang tadi malam, bersedia menjemput saya kembali. Pagi itu, saya ingin mengikuti misa mingguan, sekaligus menuntaskan perjalanan Visita Iglesia saya di Manila. Tinggal dua gereja lagi yang harus saya kunjungi: Gereja Santa Anna dan Kapel Greenbelt.
Selepas satu setengah jam mengikuti misa di Gereja Santa Anna, saya berjalan menuju altar untuk berlutut mengucapkan syukur dan memohon doa harapan. Sejenak saya mundur karena pagi itu gereja akan mengadakan upacara pembaptisan bayi.
Saya menuju ruangan samping, yang ternyata sebuah museum. Dahulu, ruangan museum ini digunakan tempat tinggal biarawan misionaris yang membangun gereja. Gereja Santa Anna adalah gereja pertama yang dibangun oleh misionaris di luar Intramuros, dan salah satu dari dua bangunan gereja yang lolos dari pengeboman ketika Perang Dunia Kedua.
Saya berjalan mencari kedai untuk mencari kudapan pengganjal perut dan pelega tenggorokan. Waktu berjalan tak kenal ampun, sembari mengunyah bakpao saya tergopoh-gopoh menaiki jeepney yang lewat di depan kedai tadi.
Berawal dari LRT Pedro Gil, saya beringsut ke Stasiun MRT Ayala yang berada di distrik bisnis Makati. Distrik ini merupakan pusat keramaian yang dipenuhi oleh apartemen, perkatoran, dan pusat perbelanjaan. Saya melewatkan momen berbelanja, dan terus melangkahkan kaki ke Kapel St. Nino de Paz yang memiliki sebutan populer Kapel Greenbelt. Kapel itu baru diresmikan pada 1983 oleh Jaime Kardinal Sin, Uskup Agung Manila.
Dua puluh menit kemudian, saya baru sampai di pelataran kapel. Puluhan orang sudah berjejal di pinggiran bangunan kapel yang berarsitektur melengkung ini. Sayang semua bangku di dalam sudah penuh. Mereka adalah umat yang sedang mengikuti misa mingguan,
Bangunan ini berbeda jauh dengan bangunan gereja yang sebelumnya saya kunjungi. Selain tergolong baru, bentuk bangunannya lebih modern. Denah bangunannya dan bentuk atapnya semua melengkung, tidak simetris. Semua ini hasil karya rancangan arsitek Willie Fernandez dan Jess Dizon.
Penggagas kapel ini, pasangan suami istri Fanny Del Rosaria dan Atty Nordy, sangat terinspirasi katedral St. Patrick di New York. Saya menebak, tampaknya hal yang menginspirasi mereka adalah kedua gereja itu sama-sama berada di pusat bisnis. St. Patrick berada di antara bangunan pencakar langit di tengah pusat bisnis Manhattan, New York. Seolah-olah ingin mengingatkan, jangan lupa untuk menyapa-Nya kendati kita sibuk bekerja. Mungkin Fanny berharap untuk memberikan ruang ibadah bagi karyawan yang sibuk berkantor dan bekerja di daerah Distrik Bisnis Makati.
Saya menyimpulkan perjalanan Visita Iglesia versi saya sendiri. Kemauan dan daya juang menjadi motor penggerak masyarakat Filipina saat membangun kembali gereja mereka yang runtuh karena bencana alam atau bencana perang.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ALFONSUS ANINDITO PRATOMO Berkarya di bidang pengembangan sumber daya manusia. Melancongi penjuru buana bersama pasangan hidupnya. Tulisannya Ketika Salju Tiba di Shirakawa terbit di edisi Februari.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR