Seno Gumira Ajidarma pernah mengunjungi rumah itu. Penulis yang telah menghasilkan begitu banyak karya mengagumkan ini tiba pada suatu pagi dengan menaiki ojek. Ia tidak bisa langsung masuk ke dalam rumah. Sebab pintu masih tertutup. Bagi Seno, rumah yang belum bisa dimasuki tampaknya justru jadi berkah. Ia bisa membayangkan bagaimana Soekarno terus-menerus diikuti oleh orang, yang berupaya memata-matainya.
Seperti dikisahkan Seno dalam national geographic traveler Juli 2010, Soekarno menceritakan kejadian pembuntutannya itu dalam biografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966) yang ditulis Cindy Adams. Ketika itu, Ende yang masih sunyi terdapat delapan polisi yang bertugas mengamati gerak-gerik Bung Karno. Terang saja, Bung Karno mudah mengenali keberadaan mereka di sekitar rumah itu. Selain mereka adalah orang Belanda, “mata-mata” itu bersepeda hitam merk Hima (tak ada orang yang menggunakan sepeda itu selain polisi tersebut).
Sebetulnya, polisi mendapat instruksi mengawasi dari jarak 60 meter. Namun pada suatu sore, Soekarno mengisahkan, tampak seseorang “...membuntutiku di jalan raya yang juga dijalani angsa, kambing, kerbau dan sapi. Aku bersepeda melalui rumah-rumah panggung menuju ke sungai. Jalan menuju ke situ sempit, jadi dia mendayung mengembus-embus hampir bahu-membahu denganku. Waktu dia berhenti di sana untuk menjalankan mata-mata, dua anjing melompat kepadanya sambil menyalak menggeram-geram. Pemaksa hukum yang tinggi kejam ini, karena kagetnya memanjat ke atas sepedanya, dan berdiri di atas tempat duduk dengan kedua tangannya berpegang erat ke pohon.”
Soekarno mengaku, itulah salah satu hiburan segar di antara hari-hari berat yang ia jalani selama 1934-1938. Diasingkan ke tempat tak seorang pun mengenalnya, sungguh mematikan jiwa aktivis populis seperti Soekarno.
Seno juga memberikan penilaian terhadap apa yang dilihatnya pada kunjungannya. Ia melihat naskah-naskah sandiwara yang ditulis oleh Soekarno, tersimpan tak terawat di balik kaca lemari. “Naskah-naskah yang ia gunakan untuk menularkan gagasan merdeka dari penjajahan di sekitar Ende, apakah tak takut akan rusak atau dicuri?” tulis Seno. Tentu lebih baik dibukukan, dan aslinya disimpan di tempat lebih aman, serta suhunya sesuai bagi dokumen tua. “Lukisan, tempat tidur dan perabotan, yang semuanya autentik, saya kira membutuhkan lebih dari sekadar bulu ayam untuk memeliharanya,” demikian Seno menuliskan pengalaman kunjungan ke rumah itu.
Di Kota Ende, Soekarno juga bergaul dengan penduduk setempat. Cendekiawan dengan sapaan akrab Bung Karno yang diasingkan oleh pemerintah Belanda karena perjuangannya ini menganggap Ende sebagai miniatur Indonesia. Karena heterogen warga dan latar belakangnya, tetapi dapat hidup damai, minim gesekan dan konflik. Toleransi dan saling hormat-menghormati, hargai menghargai menjadi napas kota ini.
Selama di Ende, Soekarno bukanlah tokoh elite yang tinggal di menara gading. Ia tinggal dan mengontrak rumah penduduk, serta sering bepergian keliling Ende dan berkenalan dengan siapa saja. Tempat-tempat dan jejak-jejak yang sering didatangi dan menjadi favorit sang insinyur dapat ditemui sampai saat ini. Beberapa bahkan merupakan situs sejarah yang masih terawat baik dan sering dikunjungi oleh wisatawan. Di antaranya, rumah tinggal Bung Karno di Jalan Perwira, kampung Ambugaga dan pohon sukun sebagai tempat perenungan Pancasila.
Di Kota Ende, butir-butir Pancasila dikandung dalam perenungan—kontemplasi—Soekarno. Di Ende, Bung Karno memperoleh kesempatan untuk mematangkan gagasan tentang dasar perjuangannya memerdekaan Indonesia. Menjadi kebanggaan juga bahwa pemerintah menetapkan perayaan peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni, secara nasional di kota ini. Tempat Bung Karno sering duduk untuk merenung saat ini dijadikan taman dan ditahtakan patung Soekarno muda sedang duduk memandangi laut. Membayangkan saat itu masih banyak pepohonan sukun, mahoni, dan asam jawa yang membuat udara sejuk dan hening dengan suara ombak pantai sebagai musik alam yang syahdu. Sedangkan, Monumen Pancasila sendiri dapat ditemui di Simpang Lima, yang berada tidak jauh dari Bandar Udara H. Hasan Aroeboesman.
Selain sebagai kota sejarah lahirnya ilham kelima sila dari Pancasila, Kota Ende dikenal juga sebagai kota pendidikan di Pulau Flores. Karena di kota ini banyak sekolah bermutu, juga perguruan tinggi. Salah satunya adalah Universitas Flores. Banyak orang muda dari kota-kota di Flores, Timor, Sumba hingga Alor dan Lembata yang datang menimba ilmu. Kehadiran mereka berkontribusi dalam menggeliatnya perekonomian, juga menambah kaya budaya warga kota dengan budaya-budaya yang berbeda.
Menurut legenda, Pulau Ende merupakan parang—golok—dari Gunung Wongge yang dibuang ke laut setelah menebas leher dari Gunung Meja. Legenda cinta segitiga Gunung Iya, Gunung Meja dan Gunung Wongge hidup dan diceritakan turun-temurun. Ikon-ikon kota Ende seperti Gunung Meja, Gunung Iya, dan Pulau Koa adalah bagian dari legenda tersebut.
Kota Ende adalah kota pelabuhan dan menghadap ke Pulau Ende. Sebagai ibu kota Kabupaten Ende, pusat peradaban ini terletak tepat di tengah-tengah Pulau Flores. Bahkan titik tengah Pulau Flores hanya berjarak kurang lebih 17 kilometer dari pusat kota, berupa batu setinggi tiga meter yang disebut watu gamba. Uniknya di “monumen” batu tersebut ada tanda tangan Presiden Soeharto (saat itu).
Kabupaten Ende memiliki potensi pariwisata yang kaya. Entah itu budaya, sejarah, alam, pantai, maupun tradisi. Semua itu menawarkan petualangan dan cerita tersendiri bagi siapa saja yang ingin mengeksplor lebih jauh tentang bumi tiga warna ini. Kota Ende sebagai ibu kota Kabupaten Ende merupakan pintu gerbang untuk mengenal semua kekayaan tersebut.
Sejarah Kota Ende bermula dari Nua Ende yang merupakan hikayat atau dongeng hasil telusuran dari karangan S. Roos yang berjudul Iets Over Ende dan juga karangan Van Suchtelen tentang Onderafdeling Ende. Hikayat masyarakat Ende menyatakan kisah, sepasang generasi awal mereka; Ambu Mo\'do (perempuan) dan Ambu Roru (lelaki) datang dari langit ke pulau kecil bernama Ende. Keduanya membentuk keluarga serta dikaruniai dua anak lelaki serta dua anak perempuan. Suatu ketika, seorang anak perempuan mereka menghilang. Tersisa tiga; Keto Kuwa, Borokanda dan Rako Madange—mereka inilah penerus keturunan keluarga Ambu Roru dan Ambu Mo\' do.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR