Pandangan saya beradu dengan Melianus Miha, saat jabatan eratnya menyapa kala tiba di SD Inpres Wesaput. Wajahnya memancarkan kelelahan, tubuhnya terbalut kemeja lusuh yang tak rapi. Ia terlihat sangat bersahaja, dan butuh waktu bagi saya untuk menyadari bahwa ialah kepala sekolah SD yang dibangun sejak 1984 ini. Sebuah papan yang berisi keterangan sekolah mencantumkan kata ‘gratis’ di antara informasi yang tertera di atasnya. Melianus mengepalai 16 orang guru dan pegawai sekolah, serta 410 orang murid yang mengawasi saya dengan mata yang berbinar saat berbaris memasuki kelas.
Para guru mengajar dengan suara keras. Di ujung kelas terdapat kumpulan karya-karya yang diletakkan bergelantungan bagaikan sebuah pohon kecil. Itu pohon ilmu, kata Melianus. Karya para muridnya itu diharapkan dapat mengingatkan hasil karya serta cita-cita mereka kelak.
Banyak dari mereka yang pergi ke sekolah dengan kaki berselaput debu dan tanah. Beberapa memakai pakaian seragam putih bersih, ada pula yang sudah berubah warnanya jadi kecokelatan dan sempit di badan. Beberapa bahkan tak berseragam.
Berasal dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, Melianus menamatkan sekolah dasar pada 1979 kemudian meneruskan pendidikan di Wamena, ikut bersama orang tuanya. “Di sini banyak anak yang berasal dari keluarga miskin. Tidak hanya dari Wamena, bahkan dari Tiom, karena orang tuanya ditugaskan di sini,” papar Melianus. Di kejauhan, anak muridnya sibuk berkelompok di atas halaman sekolah, bermain kelereng sambil tertawa-tawa.
Tak jauh dari Sekolah SD Wesaput, terdapat sebuah puskesmas. Mengunjungi tempat ini membuat saya merasa dekat dengan para ibu dan anak yang sedang memeriksakan diri di sana. Anak-anak, baik penduduk lokal maupun pendatang, bermain bersama sementara para ibu mereka sibuk dengan noken atau tas rajutan khas Papua. Tak seperti kita yang umumnya menyampirkan tali di bahu untuk menahan beban, tali noken diletakkan di kening.
Saya melihat isi noken dengan jaring-jaring yang besar, yang mengungkap semua isi di dalam tas. Botol air minum serta sirih pinang adalah hal yang paling umum mereka bawa. Tetapi di posyandu ini, saya melihat noken besar tertutup kain. Kadang para ibu menutupinya dengan selimut tebal.
Seorang ibu di samping saya meletakkan nokennya dengan amat hati-hati di atas tanah. Kemudian, ia mengeluarkan isinya sambil tersenyum lebar ke arah saya yang terkejut melihat isinya. Seorang bayi yang berusia dua bulan mengerjap-ngerjapkan matanya dengan raut muka cemberut, seolah terganggu dari tidur lelapnya.
Percampuran budaya tampaknya sudah menjamak di Wamena. Di sebuah ruangan yang sempit dipenuhi dengan kardus, Kasmiyati terbaring lemah. Anaknya yang baru lahir semalam tampak terlelap di sampingnya. Inilah anak ketiga Kasmiyati. Sementara di samping tempat tidur, sang ayah, Natalis Kuwai, tampak berseri-seri saat mengobrol dengan saya. Beberapa tahun yang lalu, Natalis adalah bekerja sebagai nelayan di Pantai Glagah. Dan ia tinggal di Klaten, Jawa Tengah. Di sana ia bertemu dengan Kasmiati yang akhirnya ia boyong kembali ke Wamena.
Di depan pintu puskesmas saya bertemu dengan Oliphina Rumbekwan, Kepala Bidang Kesehatan keluarga Masyarakat Kabupaten Jayawijaya. Ia membawahi 12 puskesmas yang ada di kabupaten ini. “Saya baru saja kembali dari Jakarta, diundang oleh universitas yang meneliti tingkat kematian ibu dan anak di sini,” ujarnya dengan penuh semangat. Dengan postur tubuh yang tinggi besar, wajahnya bersaput bedak. Kalimat demi kalimat keluar dengan amat cepat dari bibirnya yang merona merah. Ia pun berkisah soal para bidan di puskesmas ini yang memliki pasien amat banyak dalam sehari. “Mereka selalu siap siaga melayani pasien selama 24 jam,” ujarnya sambil mencegat seorang bidan sambil bertanya, “Berapa pasienmu dalam sehari?” Sang bidan menjawab sambil lalu: dua puluh, maksimal tiga puluh.
Sebuah bangunan puskesmas baru yang catnya masih basah, berdiri tak jauh dari tempat kami berbincang. Oliphina bersyukur karena cita-cita para bidan untuk memiliki tempat yang lebih luas guna menampung para ibu dan anak saat datang ke posyandu, tercapai sudah. Dinas kesehatan serta pendidikan setempat memilih puskesmas ini, juga sekolah dasar Wesaput, sebagai puskesmas dan sekolah contoh yang berhak mendapatkan bantuan yang saat itu datang dari pihak Pertamina. Keriuhan anak-anak saat kegiatan posyandu dimulai pun menenggelamkan obrolan kami.
Berjalan-jalan di Wamena sungguh mengasyikkan. Walaupun penduduk setempat sudah jarang yang menggunakan koteka. Tetapi saat acara besar digelar, seperti yang dilakukan oleh salah satu calon pejabat saat saya tiba di sana, para penduduk membawa tombak yang ujungnya menggapai langit-langit bangunan toko, atau panah dan busurnya yang berjumlah lebih dari sepuluh. Penduduk Wamena dan sekitarnya berkumpul di lapangan luas yang dipenuhi lumpur semata kaki. Kadang-kadang serombongan orang berteriak sambil membentuk lingkaran, atau sepanjang perjalanan menuju ke lapangan. Di sana mereka mematangkan babi dengan batu yang sudah dipanaskan, di atas tanah.
Ada beberapa desa di seputaran Wamena yang menyimpan mumi dan membuat saya penasaran, bahkan sebelum menginjakkan kaki di sana. Salah satunya adalah di desa yang bernama Jiwika, distrik Kurulu. Orang mengenalnya dengan mumi Kurulu. Bagi saya yang benar-benar menikmati suguhan bentang alam, perjalanan ke sana menakjubkan. Perbukitan seolah mencuat begitu saja dari tanah, menampilkan bentukan-bentukan yang unik.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR