Ling’al menuntut kami menjamah air dan dasar lautnya. Kami berbasah-basah ria saat turun dari kapal. Hari yang mulai siang membuat ombak membesar, mengombang-ambingkan tubuh. Saya limbung.
Sesampai di pantai saya memekik: pasir putih! Hamparan pasir cemerlang ini membentang dua kilometer membentuk teluk. Ida mengajak saya meniti bukit dengan janji-janji.
Sandal jepit, alas kaki kebangsaan berlibur ke pantai itu, adalah kekeliruan. Bukit berbatu-batu membuat saya nyaris tergelincir. Tak ada tanaman berakar yang bisa dijadikan pegangan saat mendaki lereng curam.
Rayuan Ida yang menjanjikan 15 menit pendakian, rasanya menjadi dua kali lipat. Apalagi biru langit, teduh laut, dan bebatuan kerap menghentikan langkah saya untuk mengabadikan alam sekitar.
Janji Ida benar. Dari puncak bukit, pantai Ling’al menghampar sempurna. Hamparan pasirnya terlihat tanpa halangan. Air jernih di bawah sana mengesankan perahu kami seolah melayang.
Bagi yang terlanjur kepincut dengan Ling’al, dapat tinggal berlama-lama. Membuka tenda di atas Ling’al akan memuaskan jiwa-jiwa petualang atau meresapi kehidupan di rumah warga.
Sayangnya, waktu membunuh angan saya. Kami harus bergegas untuk mencari titik snorkling: membuktikan keindahan bawah laut Alor yang mahsyur. Namun Ida gusar. “Kita berangkat terlalu siang, saya khawatir kita tidak bisa snorkling. Arus mulai datang,” terangnya. Ida menyarankan titik snorkeling: Pulau Ternate, Pulau Pantar, dan beberapa pantai di sekitar Pulau Alor: Sebanjar dan Lola. Perahu kami bergerak menuju pantai Sebanjar.
Mengapung di biru laut, dalam pengarungan singkat ini, Ida bagaikan teman ensiklopedik kepulauan Alor. Dia mengisahkan pulau-pulau. Tak semua pulau di Alor memendam situs snorkling, tetapi hampir semuanya memiliki titik penyelaman. Penyebabnya, kata Ida, arus dan kedalaman samudra.
“Itu Pulau Buaya, yang mirip buaya. Kaum perempuan di sana pandai menenun, tapi lautnya tidak bagus,” papar Ida. “Yang itu Pulau Pura. Bisa menyelam dan snorkling. Yang paling besar itu Pulau Pantar. Di sana lautnya bagus, pantas buat selam dan snorkling. Kalau yang jauh di sana, Pulau Ternate. Ikan-ikannya bagus. Ini Ternate Alor, ya, bukan Ternate Maluku.”
Ikannya cantik? Mengapa Pulau Ternate tidak menjadi menjadi tujuan kami? Rupanya, dari Ling’al perlu waktu untuk sampai ke sana. Arah berlawanan dan laut sedang tak menentu.
Kami berhenti di perairan pantai Sebanjar. Arus laut tak menentu. Namun hasrat saya lebih besar untuk mengintip surga bawah laut Alor. Sayang, bawah laut pantai Sebanjar sedang muram. Arus mengaburkan pandangan, dan menyapu ikan-ikan. Baru sejenak menceburkan diri, hasrat saya menguap seiring lengkingan pengemudi perahu: “Awas arus, naik, ayo naik.”
Raut wajahnya memancarkan kepanikan. Air laut hangat tiba-tiba menjadi dingin. Baiklah, saya memupus diri. Demi keselematan. “Kita seharusnya berangkat pagi-pagi. Kalau siang, jadinya begini. Musim arus tidak bagus untuk snorkling.” Ida menggerutu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR