Harapan saya masih ada di Pulau Kepa. Pulau di hadapan dermaga Alor Kecil ini terkenal dengan beberapa resor. Pulau ini pantas menjadi satu dari 56 situs andalan Alor. Alam di bawah kedalaman Pulau Kepa membuat penyelam tergila-gila.
Saya berenang di batas pulau. Resor-resor telah mengelola sebagian besar tepian Pulau Kepa. Berenang di pinggiran pulau memang tak begitu memikat. Beberapa kawan berenang ke tengah perairan.
“Darat, darat! Naik cepat,” teriakan pengemudi perahu melayangkan peringatan. Pertemuan dua arus menciptakan pusaran air. Awal tahun agaknya bukan waktu yang tepat untuk menikmati nirwana bahari Alor. Musim hujan juga menyulitkan perjalanan.
“April sampai Agustus,” Ida mengingatkan, “waktu tepat main ke Alor. Resor penyelaman baru buka pada Maret, setelah libur dari Desember sampai Maret.”
Saya harus puas meresapi permukaan laut Alor, pulau-pulaunya dan panoramanya. Saya legawa. Sekawanan lumba-lumba mengiringi kami yang gontai kembali ke daratan utama.
Jejak masa lalu manusia Alor terpendam di kampung-kampung adat yang tersebar di Pulau Alor dan Pulau Pantar. Saya menyambangi salah satu dari tiga desa adat terbesar: Takpala, Monbang, dan Bampalola di Alor.
Ida mengingatkan saya untuk tak lupa membawa sirih, pinang dan kapur sebagai buah tangan. Sejenak kami tiba, dan menggelar buah tangan, tua-muda Takpala menyambut kami dengan ramah.
Takpala adalah kampung adat yang bertengger di atas bukit, didiami 14 kepala keluarga suku Abui yang memegang teguh adat leluhur. Takpala berada di Desa Lembor Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara. Suku Abui memang tinggal di dataran tinggi Alor. Abui berarti orang gunung.
Warga Takpala cukup terbuka dan menyambut ramah. Saya bercengkerama dengan bapak, mama, kakak, dan adik sambil meresapi kudapan. Saya mereguk segelas kopi sebagai penghangat, sambil mendengarkan Abner Yetimauh.
Abner menuturkan suku Abui terdiri atas suku Kapitang, Aweni, dan Marang. Sembari menikmati sirih, lelaki dari suku Marang ini menjelaskan peran adat tiga suku tadi. Dahulu, suku Kapitang berperan sebagai panglima; Aweni menjadi bangsawan; dan Marang bertugas dalam diplomasi.
Tanah ini sejatinya bukan tempat asli leluhur Takpala. Sebagai suku gunung, dahulu penduduk Takpala tinggal jauh di gunung berhutan. Kebiasaan berpindah ladang membuat mereka turun gunung hingga ke lokasi sekarang—yang baru dihuni sejak 1942.
Keheningan Takpala terjaga dari riuhnya peradaban. Meski tak jauh dari pusat kota, Takpala tak tersentuh penerangan listrik. “Untuk menjaga keaslian desa,” sahut Martinus Kafelkai, seorang warga Takpala.
Laut, pulau, dan budaya Alor mengisi jiwa saya dalam perjalanan yang ringkas ini. Alor meninggalkan kenangan yang jujur dan mendalam: sebuah ajakan untuk kembali lagi.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR