Cerita oleh Ayos Purwoaji
Nationalgeographic.co.id—Sekilas, makanan ini tak ubahnya seperti sayuran yang disiram bumbu pecel. Tampilan dan porsinya sangat sederhana. Bahkan dapat dikatakan lebih pantas dianggap kudapan daripada makanan. Seperti brambang asem yang biasa ditemui di Pasar Gede, Solo. Namun, justru karena sifatnya yang ringan dan tidak mengenyangkan, semanggi dapat dinikmati kapan saja. Bagi sebagian orang Surabaya yang pergi merantau, semanggi menjadi semacam klangenan pengobat rindu. Karena rasa khasnya tidak bisa ditemukan di daerah lain selain di Surabaya.
Cita rasa itu muncul dari bahan baku utamanya yaitu semanggi (Marsilea crenata) yang termasuk dalam kelompok tumbuhan paku air. Saat disajikan, pecel semanggi dilengkapi dengan kecambah dan kembang turi, lantas disiram saus pedas manis berbahan dasar ketela. Bila ingin paket yang lebih lengkap, pembeli juga dapat meminta penjual semanggi untuk menambahkan rebusan daun ketela dan tempe.
“Sebetulnya dulu, selain tempe juga bisa dimakan dengan dideh, tetapi karena banyak pelanggan adalah pemeluk Islam yang taat, akhirnya saya disarankan untuk tidak menjualnya lagi…” kata seorang ibu penjaja semanggi. Jamak diketahui, dideh atau marus adalah olahan beku darah hewan yang cukup populer sebagai pelengkap penganan di Jawa pada zaman susah.
Satu hal yang membuat semanggi terasa khas, adalah makanan ini selalu dihidangkan dengan cara tradisional di atas pincuk daun pisang. Tanpa sendok, tanpa garpu, tanpa nasi, tanpa lontong. Sebagai gantinya, penjual akan memberikan selembar kerupuk puli untuk menggantikan sendok. Bila kerupuknya tandas sebelum pecel semangginya habis, itu tanda bagi pembeli harus meminta selembar kerupuk puli lagi. Cara makan yang khas seperti itu memberikan sebuah pengalaman yang melekat kuat bagi pelanggan.
Sayangnya, menemukan semanggi di Surabaya sama susahnya dengan menemukan belut di kolam lele. Para penjajanya bersifat dinamis dan selalu bergerak menyusuri ruas-ruas kota. Sehingga tak salah bila beberapa orang berpikir bahwa bertemu dengan penjaja semanggi tak ubahnya seperti mitos keberuntungan. Ketika ngidam, mereka tak kunjung datang, namun bisa saja melintas ketika kita sedang lengah.
Begitu mengakarnya ingatan warga Surabaya terhadap semanggi, pada tahun 1950an, S. Padimini, seorang musisi keroncong, menggubah sebuah lagu yang kelak menjadi klasik berjudul Semanggi Suroboyo. Lagu ini menggambarkan bagaimana Semanggi dijual dan dikonsumsi. Termasuk penjaja semanggi yang masuk keluar kampung sambil berteriak lantang: “Semmmanggiii!”
Gambaran mengenai penjual semanggi juga muncul dalam kesenian ludruk yang selalu membawakan cerita tentang kehidupan sehari-hari warga kampung. Penjual semanggi biasanya diperankan adalah sesosok wanita yang berjalan kenes dan berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Peran tersebut menjadi sosok figuran yang mampu menghadirkan dialog-dialog ringan di tengah para pemeran utama. “Dulu, setiap penampilan kelompok ludruknya Markuat, selalu ada tokoh Maryam, si cantik penjual semanggi,” kata Kasmuri.
Kasmuri adalah suami dari Jami, seorang wanita yang sudah berjualan semanggi selama lima belas tahun. Pasangan ini tinggal di Desa Kendung, Kecamatan Benowo yang dikenal sebagai “kampung semanggi” karena mayoritas penduduknya berprofesi sebagai penjaja semanggi. Mereka berdua menerima saya di beranda rumah kecil mereka yang asri.
Sambil berbasa-basi saya tanyakan mengenai sejarah penyebutan Desa Kendung menjadi “Kampung Semanggi”. Jami sendiri mengaku tidak tahu persis sejak kapan desanya menjadi pusat penjaja semanggi keliling. Namun yang ia ingat betul, bahwa ibu dan neneknya juga seorang penjual semanggi. “Nenek saya pernah cerita, dulu untuk berjualan semanggi, mereka harus jalan kaki ke pusat kota. Pulangnya beberapa hari sekali untuk mengambil pasokan semanggi di Benowo,” kata Jami.
“Sekarang sawah-sawah semanggi habis berganti menjadi perumahan,” ujar Jami yang merupakan penduduk asli Desa Kendung.
Desa Kendung sendiri berada di wilayah pinggiran Kota Surabaya yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gresik. Konon, hanya di desa ini dan beberapa desa sekitarnya seperti Sememi dan Pakal, sawah-sawah yang ditanami semanggi masih bisa ditemukan.
Maka, saat memasuki Desa Kendung yang pertama kali saya lakukan adalah berkeliling untuk mencari petak-petak sawah semanggi. Motor saya kemudikan perlahan. Tengok kanan kiri. Tapi tidak ada satupun ladang semanggi yang tampak dari pinggir jalan.
“Sekarang sawah-sawah semanggi habis berganti menjadi perumahan,” ujar Jami yang merupakan penduduk asli Desa Kendung. Ia masih ingat, dahulu desanya dipenuhi oleh semanggi yang tumbuh liar di pematang sawah dan lahan kosong. Setiap hari, orang bisa memetik semanggi dengan bebas untuk dikonsumsi atau dijual lagi.
Budayawan Dukut Imam Widodo dalam bukunya Monggo Dipun Badhog yang memuat sketsa-sketsa panganan tradisional Surabaya, juga menulis: “… dengan banyaknya sawah-sawah yang digusur dibuat perumahan, maka tumbuhan semanggi pun mendekati kepunahan.” Tumbuhan semanggi yang semula tumbuh bebas dan liar pun semakin tidak mendapat tempat untuk hidup. Keadaan tersebut sejurus dengan munculnya pandangan bahwa semanggi adalah tumbuhan kotor dan penganane wong kere di sebagian benak masyarakat. Stigma tersebut membuat pamor semanggi semakin redup.
Meski begitu, ada beberapa orang yang kemudian membudidayakan semanggi di lahan persawahan. Para pemilik lahan inilah yang kemudian memasok kebutuhan sehari-hari para pedagang. Mereka berkeliling di setiap rumah para penjaja semanggi untuk mengirim semanggi dan ketela yang dibutuhkan para penjaja. Setiap siang, Jami mendapatkan satu kresek daun semanggi dan empat kilo ketela dari para juragan. Bahan lainnya; seperempat kilo lombok, setengah kilo gula merah, dan setengah kilo kacang tanah, ia beli sendiri. “Kalau hari minggu, takarannya bisa lebih dari biasanya,” ujar Jami.
Proses mengolah daun semanggi dikerjakan pada pukul tiga pagi. Sebelum daun semanggi dikukus, harus melalui proses pelayuan dahulu dengan disimpan di dalam sebuah kantung plastik. Proses ini berguna untuk mendapatkan tekstur semanggi yang spesifik. Sedangkan ketela, lombok, gula merah, kacang tanah, dan beberapa bumbu lainnya diolah menjadi sambal padat yang baru akan diencerkan ketika pembeli tiba. Biasanya, setiap penjaja semanggi memiliki resep sambal yang berbeda-beda. Kualitas dari sambal ketela inilah yang menjadi pembeda antara penjual semanggi yang satu dengan lainnya. “Banyak pelanggan saya suka karena sambal saya lebih enak, semangginya pun gurih,” kata Jami.
Setelah semanggi matang dan sambal disiapkan. Pada pukul tujuh pagi, para penjaja semanggi, sekumpulan ibu-ibu yang menggendong keranjang besar di punggungnya, berkumpul di tepi lapangan Desa Kendung untuk berangkat bersama menuju pusat kota Surabaya. Melihat mereka berbaris seolah-olah berhadapan dengan sekumpulan laskar holigan yang siap menaklukkan matahari. Mereka menaiki angkot hingga daerah Kupang.
Di Kupang, mereka akan beristirahat sejenak sembari membeli lembar-lembar daun pisang untuk membuat pincuk. Selanjutnya, dari Kupang, ibu-ibu penjaja semanggi mulai berpencar keliling Surabaya.
Di kala usianya yang berusia lanjut, Jami sudah tidak mampu berjalan jauh. Mulanya ia melakukan ini sebagai tambahan ekonomi keluarga, karena upah yang diterima Kasmuri sebagai buruh angkut di Tanjung Perak tak cukup untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Saya merasakan adanya sebuah marwah yang besar dari pekerjaan yang tampak sederhana itu. Melalui langkah-langkah kecil Jami di tengah panasnya udara Surabaya, hasilnya mampu untuk memberi pendidikan yang layak bagi anak-anaknya.
“Setelah ibu, adakah anak-anak yang akan melanjutkan pekerjaan ini?” tanya saya pada Jami sebelum pulang.
Menatap mata saya sambil tersenyum, Jami menggeleng perlahan.
Penulis | : | ANTARA FOTO/ZABUR KARURU |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR