Nagari Pandam Gadang adalah satu kampung yang jauh dari bising. Di sinilah rumah “pemberontak” itu berada. Rumahnya bergonjong enam, sama seperti rumah Minangkabau pada umumnya. Di halaman depannya terpancang tiang dengan bendera Merah Putih. Pintunya berhadap-hadapan dengan kolam yang dikelilingi pohon kelapa.
Pada gonjong yang menjorok ke depan, sebuah nama berhuruf kapital ditulis dengan warna dan latar yang mencolok—kuning dan hijau: “Tan Malaka”. Puluhan tahun silam, nama itu sempat tabu untuk dikenal.
“Siapa yang menjaga rumah ini?” saya bertanya kepada beberapa orang anak yang bermain di halaman.
“Masuak se, Da. Pintunyo indak dikunci,” jawab seorang anak dari atas sepedanya.
Saya menaiki beberapa anak tangga. Benar saja, pintunya tidak dikunci. Beberapa buku tamu ditaruh begitu saja di atas kotak biru yang sudah pudar di sebelah kanan pintu. Kotak itu adalah kotak sumbangan bagi siapa saja yang hendak memberi. Derit papan turut berbunyi seturut langkah kaki saya.
Tirai berwarna biru-putih tergantung di pintu yang mengarah ke bagian tengah rumah. Dari pintu, saya sudah disambut oleh senyum Tan yang terpatri dalam foto di ujung ruang dalamnya. Ia menggunakan kemeja putih dengan topi bundar di kepala. Lampu tua berukir perak digantung bersebelahan dengan lampu neon putih. Ranji, silsilah keluarga, ditempel pada dinding di bawah gambar orang-orang yang pernah dan sedang memangku salah satu gelar datuk di Nagari Pandam Gadang. Wajah Tan ada bersama foto-foto itu.
Konon, ia lahir pada masa hujan tidak turun di Pandam Gadang. Ketika itu sawah-sawah mengering, daun-daun pohon menguning, semak hangus disengat matahari.
Entah, sebuah kebetulan atau memang takdir, hujan besar menimpa Pandam Gadang seturut tangis seorang bayi laki-laki di dalam surau kecil. Ia dinamai Ibrahim oleh orang tuanya. Di usia muda ia ditunjuk kaumnya menjadi Datuak Pamuncak, salah satu posisi tertinggi dalam adat Minangkabau, menggantikan kakeknya yang mangkat. Ia dibekap gelisah. Ini beban berat untuk anak yang belum genap berumur tujuh belas tahun. Kemeriahan jelang pengukuhan adat itu digambarkan oleh Hendri Teja dalam novelnya yang berjudul Tan, terbit pada awal 2006.!break!
Tujuh ekor sapi disembelih. Segenap khalayak nagari diundang makan bersama selama tujuh hari tujuh malam. Rabab, randai, saluang, dan kesenian adat lainnya digelar saban malam.
Selepas para tetua adat berbalas pantun dan Imam membacakan doa, resmi pula remaja Ibrahim menjadi seorang tokoh adat di nagarinya.
Perlahan ku perbaiki segitiga destar, membenarkan letak kariah di pinggang, dan selepas menarik napas panjang aku bangkit berdiri.
“Mulai kini, panggil ambo Datuk Tan Malaka!”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR