Komunitas masyarakat Jawa di Suriname berusaha untuk tetap mempertahankan budaya.
Mereka membentuk yayasan-yayasan yang dipakai sebagai penyaluran mereka dalam mengekspresikan budaya tradisional, seperti tarian dan seni bela diri pencak silat.
Pada saat simposium "Migration and Cultural Heritage: Stories of Javanese in Suriname, Indonesia, and Netherlands" pada Kamis (20/1) lalu di Erasmus Huis Jakarta, ketua Yayasan Komite Mengenang Imigrasi Jawa (Stichting Comite Herdenking Javaanse Immigratie/STICHJI) Hariette Mingoen bercerita kalau komunitas Jawa di Suriname kerap mengadakan seminar atau menggelar pameran sosial, politik, serta budaya. Kegiatan-kegiatan, semacam bersih desa, hari orang tua, dan peringatan hari imigrasi pun diadakan setiap tahun. Bahkan demi hormat kepada generasi tua, upacara-upacara rutin, seperti kendurian, masih terus dilanjutkan.
"Kami tidak hanya nostalgia, tetapi kita berbicara mengenai perkembangan dari warisan tradisi," kata Henk Schulte Nordholt dari Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara (Koninklijk Instituut voor Taal, Land- en Volkenkunde/KITLV) yang jadi salah satu pembicara dalam simposium.
Masalah utama mereka adalah kesulitan melestarikan bahasa. "Generasi muda kami tidak lagi berbahasa Jawa," ujar Hariette.
Peneliti-peneliti yang hadir dalam simposium itu setuju kalau jejak warisan tradisi perlu dilacak. Tujuannya agar masyarakat menyadari sejarahnya dan terdorong untuk memajukan budaya. "Saya berharap ini merupakan sebuah awal untuk sesuatu yang baru. Kita ingin dapat mengumpulkan kisah-kisah sejarah para pendahulu kita," tutur Henk.
Selama masa kolonial Belanda, banyak orang Jawa dibawa ke Suriname sebagai kuli kontrak yang bekerja di perkebunan gula dan kayu milik Belanda. Setelah kontrak kerja selesai, ada yang kembali ke Indonesia, bermigrasi ke Belanda, dan yang sebagian besar memilih menetap di Suriname. Hingga saat ini keturunan Jawa yang berada di Suriname tetap setia menjaga dan mempertahankan identitas kultur mereka, meski telah terpisah jauh dari tanah kelahiran.
Sejarah mengenai orang Jawa di Suriname tercatat pada buku Migration and Cultural Heritage yang disusun atas prakarsa KITLV, STICHJI, dan LIPI. Buku yang diluncurkan pada saat simposium tersebut mengungkap perjalanan migrasi para Jawa-Suriname pasca Perang Dunia II.
Menurut Henk, buku ini menggambarkan proses migrasi yang amat sangat rumit dan dinamis melalui perspektif-perspektif berbeda. "Sangat baik untuk mencoba memahami dinamikanya, karena itu menceritakan diri kami. Kami terbawa pada ingatan dari mana kami berasal," terang Henk saat memberikan latar belakang proyek bersama ini.
"Kami melakukan wawancara di Suriname, Belanda, dan Indonesia. Kami juga mewawancarai para migran yang kembali ke Suriname. Kisah mereka membentuk benang merah," tambahnya.
REKOMENDASI HARI INI
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
KOMENTAR