Masalah kesehatan mental di Indonesia memprihatinkan. Tingginya angka
prevalensi gangguan jiwa tidak diimbangi dengan tersedianya jumlah
profesi yang menangani dan fasilitas pelayanan yang memadai.
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Sofia Retnowati memaparkan, dari jumlah penduduk Indonesia sekitar 241 juta jiwa pada
2011 ini, jumlah psikiater hanya 600 orang dan jumlah psikolog
klinis hanya sekitar 365 orang. Dirinya melanjutkan, ketidakseimbangan
kapasitas layanan kesehatan jiwa ini mengindikasikan tingginya treatment
gap.
"Permasalahan kesehatan jiwa ini menyebabkan penderitaan yang
berkepanjangan bagi individu, keluarga, masyarakat, dan negara," paparnya.
Menurut Sofia, salah satu strategi yang harus dilakukan adalah
dengan memasukkan layanan kesehatan jiwa ke pelayanan primer, atau di
Indonesia dikenal dengan nama Puskesmas. Caranya adalah dengan
menempatkan psikolog di Puskesmas-Puskesmas.
Sementara ini, di DIY sendiri sudah dilakukan di Kabupaten Sleman dan
perlu pengembangan lebih lanjut di seluruh kota/kabupaten di Provinsi
DIY bahkan provinsi di seluruh Indonesia.
Keberhasilan pelayanan psikologis ini, tambah Sofia, ditentukan
oleh jalinan komunikasi yang baik antara psikolog dengan petugas medis
lainnya. Sayangnya, hal yang kerap kali menjadi kendala adalah perbedaan
budaya antara pelayanan media dan psikologis.
"Untuk meningkatkan kolaborasi ini, psikolog harus mampu beradaptasi
dengan tim kesehatan lainnya. Selain itu psikolog perlu membangun pola
pikir kolaboratif agar menghemat waktu dan tenaga dalam melayani
pasien," ungkapnya.
Psikolog juga dituntut untuk menyesuaikan proses penilaian dan
intervensi dengan kebutuhan di pelayanan primer serta mampu
berkomunikasi secara verbal maupun nonverbal secara efektif dan
efisien.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR