Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Andi Kurniawan, berhasil menciptakan alat pendeteksi curah hujan tepat guna. Alat ini dinilai mampu meningkatkan produktivitas petani untuk menciptakan padi dengan kualitas terbaik.
Inovasi baru ini didorong karena adanya kendala bagi para petani yang sulit memperkirakan waktu tanam dan panen padi atau tanaman lain. Selama ini para petani cenderung menentukannya dengan tradisi turun temurun dengan melihat siklus curah hujan yang teratur.
"Curah hujan saat ini mengalami siklus tak menentu. Hal ini membuat petani kesulitan untuk memproduksi dengan kualitas terbaik karena tidak bisa lagi tergantung pada tradisi tersebut," ujar Andi.
Alat pendeteksi curah hujan tepat guna tersebut dibuat dengan biaya produksi sekitar empat ratus ribu rupiah. Alat ini menggunakan komponen-komponen sederhana dalam produksi, yaitu corong, penjungkit, mikrontroler, alat transmisi wireless dan alat penampil data seperti komputer.
Corong, kata Andi, digunakan sebagai penampung pertama air hujan. Air hujan kemudian dialirkan ke penjungkit sehingga terjadi jungkitan. Jumlah jungkitan yang terjadi pada penjungkit tersebut lalu dihitung oleh Optocoupler sebagai sensor.
Data berupa jumlah jungkitan ini diolah oleh mikrokontroler sebagai pengolah dan akan dikirimkan ke komputer secara wireless. Data ini akan tersimpan secara otomatis di komputer sebagai data curah hujan.
"Saya menggunakan alat transmisi wireless jenis TRW 2.4G. Data curah hujan yang akan muncul juga diatur dengan satuan milimeter per jam. Bisa juga diubah menjadi sesuasi kebutuhan dan biaya”, kata Andi.
Andi melanjutkan sebenarnya Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memiliki alat yang dapat digunakan untuk mengukur curah hujan dan kebutuhan lain. Permasalahannya, satu alat pengukur curah hujan yang digunakan BMKG biasanya hanya dapat mewakili daerah dengan radius sekitar 10 kilometer dari posisi alat tersebut.
Hal ini dipersulit dengan mahalnya alat sehingga BMKG hanya dapat menempatkan alat tersebut di titik-titik yang terbatas. Permasalahan BMKG, lanjutnya, adalah pada upaya sosialisasi hasil alat tersebut. BMKG masih kesulitan untuk memberikan informasi curah hujan kepada seluruh masyarakat.
Andi berharap, alat ini dapat dimanfaatkan secara luas oleh para petani dan masyarakat umum. Selain biaya terjangkau, pengunaannya pun cukup mudah dan tidak memakan waktu dan biaya tambahan. Tak hanya itu, petani pun dapat memproduksi padi dengan kualitas baik. “Dengan alat ini, kita cukup melihat hasil pengukuran curah hujan di komputer tanpa melakukan proses apapun. Karena selama alat bekerja, data langsung secara otomatis tersimpan," paparnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR