Untuk mengangkat hak pejalan kaki, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menetapkan Yogyakarta sebagai Kota Laik Pejalan Kaki atau Walkability City. Tak hanya membudidayakan budaya jalan kaki, Walkability City menjadi cara untuk mengurangi emisi karbon yang makin parah.
"Berdasarkan hierarki pengguna jalan, pejalan kaki berada di puncak piramida dan diikuti di bawahnya kendaraan umum dan pribadi. Artinya,pengguna jalan kaki harus diprioritaskan dalam penggunaan jalan," ujar Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB,usai acara di Yogyakarta, Jumat(2/3).
Aktivitas berjalan kaki, katanya, menjadi prioritas karena merupakan jenis transportasi yang paling murah, bebas polusi, serta berpotensi paling minim sebagai penyebab kecelakaan. Bahkan, jalur pejalan kaki menciptakan ruang temu untuk melakukan interaksi sosial dan berekreasi.
Namun sayang, lanjutnya, fasilitas yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki belum terakomodir dengan baik. Ia mencontohkan trotoar yang nyaman pun jarang ditemui karena banyak digunakan untuk berjualan, rambu jalan, tiang bendera, bahkan pengendara motor.
Trotoar yang laik bagi pejalan kaki paling tidak memiliki lebar dua meter. Harus ada juga pohon perindang untuk memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki.
"Ini semua sudah diatur dalam dalam UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sayangnya implementasinya masih kurang tegas. Hak pejalan kaki masih terenggut," tegasnya.
Dengan kondisi inilah, ia berharap program Walkability City menjadi langkah awal untuk para pemangku kebijakan agar memperhatikan fasilitas pejalan kaki. Sanksi yang tegas bagi yang menggunakan trotoar seenaknya,perlu ditegakkan. "Masyarakat sendiri pun harus memiliki kesadaran untuk membudidayakan jalan kaki ini," tambahnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta Suparlan mengatakan, program Walkability City perlu menjadi komitmen eksekutif dan legislatif. “Pimpinan harus punya keberanian dan ketegasan apa tidak. Apalagi Yogyakarta sebagai kota pariwisata,” kata Suparlan.
Menurutnya, keberhasilan program kota laik jalan harus diawali dengan membangun komunikasi yang humanis. Fasilitas tempat pejalan kaki harus dibenahi termasuk penataan pohon perindang. “Eksekutif dan legislatif harus punya skema memasukkan trotoar dan hak pejalan kaki di kebijakan tata ruang wilayah sebagai kawasan stragetis yang dilindungi,” ujar Suparlan.
Menurut catatan Walhi tahun 2008-2011, pertambahan kendaraan roda dua di Yogyakarta meningkat drastis. Dari 900 ribu kendaraan menjadi 1-1,5 juta. “Jika tidak dimulai budaya jalan kaki lima, pada 2015 mendatang, Yogyakarta akan dipadati kendaraan. Bahaya kesehatan pun akan meningkat seiring tingginya polusi,” ucapnya.
Asisten Administrasi Umum Pemkot Yogyakarta, Titik Sulastri mengakui untuk mengembangkan budaya berjalan kaki perlu perjuangan panjang. Karenanya dukungan berbagai stakeholder sangat diperlukan untuk mewujudkan Jogja istimewa bagi pejalan kaki.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR