Masyarakat miskin yang tinggal di wilayah kumuh ternyata tidak selamanya diam. Mereka bisa bersuara, meneriakan keberadannya pada dunia.
Suara kelompok miskin kota ini membuat Pemerintah tak bisa lagi menutup mata. Tak bisa lagi menolak pelayanan pendidikan, kesehatan, dan sanitasi. Karena kelompok miskin kota memang ada, bukan legenda.
Hal ini disampaikan dalam jurnal Environment and Urbanization yang dirilis International Institute for Environment and Development (IIED), Mei 2012. Dipaparkan jika masyarakat miskin kota bisa melahirkan data akurat, lebih up-to-date, dan relevan mengenai lokasi pemukiman mereka dibanding Pemerintah.
Aktivitas ini membuat suara kelompok miskin kota didengar dan dihargai. Bahkan bisa bekerja sama dengan Pemerintah untuk mengatasi masalah mereka. "Tinggal di wilayah informal seperti wilayah kumuh artinya membuat (mereka) tidak dipedulikan dan dianggap. Tapi sekitar satu juta orang yang menganggap wilayah itu sebagai rumah, adalah bagian penting dari solusi mengentaskan tantangan masalah lingkungan urban," ujar David Satterthwaite, salah satu peneliti senior di IIED.
Contoh suara kelompok miskin kota terjadi di Surabaya, Jawa Timur, di tahun 2002. Saat itu Pemerintah kota memberi peringatan penggusuran pada penduduk di enam kampung di wilayah Bratang. Padahal kampung-kampung ini sudah hadir lebih dari 40 tahun dan sudah memiliki ikatan kemasyarakatan yang kuat.
Masyarakat setempat menolak penggusuran dan mendirikan LSM mandiri bernama Paguyuban Warga Strenkali (PWS). Paguyuban ini berhasil melakukan lobi-lobi ke Menteri Pekerjaan Umum (PU) yang berbuah manis. Penggusuran dibatalkan. PPTS dan PU kemudian sepakat untuk mencari alternatif lain bagi wilayah tersebut.
Antara tahun 2003-2006, PWS makin menguatkan keberadannya dengan menggelar berbagai program. Termasuk program daur ulang, pembuatan pupuk, pengobatan tradisional, dan taman bermain anak.
"Penduduk yang tinggal di wilayah seperti itu (kumuh) di seluruh dunia, sudah menunjukan pendokumentasian komunitas mereka, bisa memicu kerjasama untuk perbaikan kondisi," kata Satterthwaite lagi.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR