Perlu tindakan hukum tegas dan keras untuk menghentikan kekerasan terhadap orangutan. Kementerian Kehutanan dan Kejaksaan Agung perlu berkoordinasi untuk memastikan hukuman maksimal sesuai undang-undang.
Pertengahan April lalu, empat terdakwa kasus pembantaian orangutan di Desa Puan Cepak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dijatuhi hukuman masing-masing delapan bulan penjara dan denda Rp30 juta. Keempat orang itu merupakan karyawan PT Khaleda Agroprima Malindo.
"Vonis ringan sama dengan nihilnya penegakan hukum. Hanya akan menghasilkan reproduksi kejahatan dan kekejaman serupa. Pemerintah harus bertindak tegas dan keras untuk menghentikan kebrutalan perusahaan sawit nakal," kata juru kampanye Centre for Orangutan Protection Daniel Hendarto, Jumat (4/5), di Jakarta.
Menurut Daniek lagi, untuk mengurangi pembantaian satwa dilindungi, perlu ada pemetaan di mana saja habitat beruang, wauwau, dan orangutan.
Pada Pasal 40 Ayat 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sanksi hukuman maksimal bagi penganiaya atau pembunuh satwa dilindungi adalah hukuman penjara lima tahun dan denda maksimal Rp100 juta.
Menurut Koordinator Program Konservasi Orangutan World Wildlife for Natur Indonesia Chairul Saleh, "Saya menghargai upaya penegakan hukum hingga ada putusan. Harapannya, ada hukuman yang berefek jera. Saat ini sudah ada perlindungan pada satwa dilindungi, tapi belum optimal," ujarnya.
Saat ini berlangsung pengadilan terhadap para karyawan PT Sabhantara Rawi Sentosa, anak perusahaan Makin Group. Mereka didakwa membunuh satu orangutan, 23 Juli 2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR