“Kami dapat menggunakan sejumlah besar simulasi model iklim untuk menyelesaikan apa yang tampak seperti paradoks,” ujar Benjamin Black, asisten profesor di Departemen Ilmu Bumi dan Planet di Rutgers University-New Brunswick yang menjadi penulis utama studi tersebut.
“Kami tahu letusan ini terjadi dan pemodelan iklim masa lalu telah menyarankan konsekuensi iklim bisa parah, tetapi catatan arkeologi dan paleoklimat dari Afrika tidak menunjukkan respons yang begitu dramatis," jelas Black, sebagaimana dikutip dari situs resmi Rutgers University.
“Hasil kami menunjukkan bahwa kami mungkin tidak mencari di tempat yang tepat untuk melihat respons iklim. Afrika dan India relatif terlindung, sedangkan Amerika Utara, Eropa, dan Asia menanggung beban pendinginan,” papar Black.
Baca Juga: Gelagar-Gelagar Gunung Api Terdahsyat di Nusantara
“Salah satu aspek yang menarik dari hal ini adalah bahwa (manusia purba) Neanderthal dan Denisovan tinggal di Eropa dan Asia pada saat ini, jadi makalah kami menyarankan untuk mengevaluasi efek letusan Toba pada populasi tersebut dapat memerlukan penyelidikan di masa depan.”
Para peneliti menganalisis 42 simulasi model iklim global di mana mereka memvariasikan besarnya emisi belerang, waktu tahun letusan, keadaan iklim, dan ketinggian injeksi belerang untuk membuat penilaian probabilistik dari berbagai gangguan iklim yang mungkin disebabkan oleh letusan Toba. Pendekatan ini memungkinkan tim menjelaskan beberapa hal yang sebelumnya tidak diketahui terkait dengan letusan tersebut.
“Dengan menggunakan pendekatan probabilistik, kami bertujuan untuk memahami kemungkinan bahwa beberapa daerah tidak terlalu terpengaruh oleh Toba, mengingat berbagai perkiraan ukuran dan waktunya, selain kurangnya pengetahuan kami tentang keadaan iklim yang mendasarinya,” kata Black.
Baca Juga: Benarkah Letusan Gunung Toba Picu Musim Dingin Ekstrem di Afrika?
Source | : | rutgers.edu,PNAS |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR