Nationalgeographic.co.id—Tema kemerdekaan kerap larut dalam perayaan saja tanpa memerhatikan pekerjaan rumah yang sebenarnya: pangan. Padahal dahulu Sukarno pernah berkata, "Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka 'malapetaka': oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner."
Bagi Sukarno, pertanian adalah soal hidup atau mati. Ia ingin para pemuda-pemudi memiliki pangan seutuhnya.
"Aku bertanya kepadamu: sedangkan rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, mala-petaka, dalam waktu yang dekat kalau soal makanan rakyat tidak segera dipecahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup atau matu, kenapa dari kalangan-kalanganmu?" tanya Sukarno pada pemuda.
"Kenapa buat tahun 1951/1952 yang mendaftarkan diri sebagai mahasiwa fakultas pertanian hanya 120 orang, dan bagi fakultas kedokteran hewan hanya 7 orang?... Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak 'campakan' soal makanan rakyat ini sejahtera besar-besaran, sejahtera radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka!" Demikian pidato Bung Besar saat peresmian Kampus IPB Baranangsiang, 1952.
Maka, diresmikan Institut Pertanian Bogor pada 1 September 1963 untuk menjawab permasalahan keanekaragaman pangan - capaian terbesar Sukarno soal pangan.
Pangan tidak hanya masalah karbohidrat. Masalahnya, masyarakat yang ada di Jawa sudah lama tidak mengenal sagu. Kota-kota Jawa pada prinsipnya sudah terpolarisasi. Ini yang menjadi kesadaran dari Sukarno dan Menteri Pertanian Aziz Saleh untuk memulai buku masakan Indonesia Mustikarasa pada 1960.
Sukarno tak ingin orang Indonesia hanya makan nasi. Maka, ada 1.600 resep yang terkumpul di Mustikarasa. Sebagian besar adalah resep daerah, namun adajuga resep dari Meksiko, seperti Tortila dan resep Indies dari Eropa, Cina, dan Arab yang disesuaikan dengan citarasa Indonesia. Dengan 189 resep berbahan baku batang pisang, 84 resep berbahan jagung, 45 resep berbahan jagung muda, 32 resep berbahan tempe, 43 resep berbahan tahu, dan 37 resep berbahan telur.
Dari berbagai resep di sana, ada menu genjer yang kemudian jadi lagu. Istilahnya naik daun karena masuk dalam 1.600 resep. Yang tadinya makanan orang miskin, jadi makanan mustika. Ia makin populer setelah lagu populer tahun 40-an.
Baca Juga: Perubahan Iklim Mengancam Ketahanan Pangan Sektor Perikanan Indonesia
Banyak musisi yang mencoba menaikkan derajat pangan lokal. Seruan dengan lagu menunjukkan bahwa bangsa mempunyai ragam makanan. Tuty Subardjo dengan lagu Turun Kebawah misalnya, membawa lagu roman keberangkatan relawan Dwikora. Salah satunya menyisipkan persoalan sawah dan ladang.
"Tidak hanya ajakan perang Dwikora. Tapi lagu ini sisipan yang nyeleneh tapi itu juga bagian dari strategi produsernya yang Soekarnois. Untuk mengingatkan kembali para pemuda yang ada di kota untuk kembali ke desa membantu para petani, membawa cangkul dan celurit, menyebarkan bibit kembali," tutur Ary Budiyanto, Antropolog dari Universitas Brawijaya di acara Bincang Redaksi National Geographic Indonesia.
Lagu-lagu juga digunakan oleh lawan politik Sukarno. Namun ada juga lagu tentang pengalihan isu atas ketimpangan pangan. "Maka Dwikora Trikora digerakan," kata Ary. Yakni Ansambel GEMBIRA - Maju Sukarelawan di akhir 1964.
Baca Juga: Sukarno Bukan Tanpa Cela, Berkali-Kali Dia Dikritik oleh Soe Hok Gie
Konferensi Asia Afrika di Bandung adalah salah satu yang dipakai Sukarno untuk mengangkat derajat Indonesia ke atas, tutur Ary. Ia memperkenalkan rumah makan Madura di Bandung kepada petinggi-petinggi dunia.
Sate Madura di Rumah makan Madrawi juga diperkenalkan saat konferensi tahunan ke-12 Pasific Area Travel Association (PATA).
"Upaya-upaya politik mercusuar sepanjang masa revolusi yang megah, meriah dan penuh suasana optimisme dan pengharapan ideal semacam KAA, PATA, GANEVO dan lainya, digunakan apik dan cantik oleh Bung Karno sebagai panggung meja makan yang menciptkan kepuasan batin akan jati diri masa depan makanan bangsa yang dibayangkan, disinilah muncul gastro dipolomasi. Sampai Nehru disuruh makan di warung," ucap Ary.
Baca Juga: Di Balik Foto Langka Lawatan Pertama Soekarno ke Amerika Serikat 1956
Gelora pangan Indonesia juga disambut oleh orang-orang kita sendiri. Lie Sek Hiang, yang membuat buku Indonesian Cookery salah satunya.
"Itu buku menu pertama Indonesia di luar negeri. Ia dari peranakan Sumatra Barat, menulis buku masakan di New York," kata Ary.
Sementara itu, pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 1965, Sukarno membuka amanahnya dengan pantun:
Siapa bilang ini soto sembarang soto
soto ini soto babat
Siapa bilang saya ke Tokyo
Saya lebih senang tinggal di kalangan rakyat.
Setelah berpantun dan berpidato, Sukarno mengajak bersama-sama menyanyi lagu Bersukaria. Syair lagunya berupa bait pantun menghibur diri bahwa Indonesia banyak makanan.
Bagaimana menjawab impian Sukarno tentang pangan Indonesia dapat bangkit? "YouTube, kita bisa membuat imajinasi yang lebih," tutur Ary.
Orang bisa memperkenalkan dan memberi rasa rindu pada desa. Orang tidak minder lagi tinggal di desa. Mereka terkenal, kaya, kehidupan mereka bisa dinikmati satu kampung, kata Ary.
Baca Juga: Jumlah Warga Dunia yang Berisiko Kelaparan Akan Naik hingga 30 Persen
Source | : | Bincang Redaksi National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR