Sekelompok peneliti yang tergabung dalam penelitian bersama University of Adelaide, Australia, berhasil menyimpulkan sebab punahnya burung raksasa moa di Selandia Baru. Berdasarkan DNA dari tulang moa, disimpulkan bahwa perubahan suhu tak berpengaruh pada kepunahannya. Melainkan karena perburuan berlebih dan perubahan habitat.
Kesimpulan ini didapat menggunakan analisa pada DNA purba, penanggalan karbon, dan diet stabil analisa isotop. Penelitian dilakukan bersama oleh para peneliti dari Australian Centre for Ancient DNA, University of Colorado, University of Waikato, dan Landcare Research di Selandia Baru. Hasilnya diumumkan dalam jurnal Quaternary Science Reviews secara online, Senin (6/8).
Moa, burung raksasa bertinggi 2,5 meter dengan bobot 250 kilogram, merupakan herbivora terbesar di Selandia Baru pada zaman sebelum kedatangan manusia. Jumlahnya mulai menyusut setelah kedatangan orang Polinesia. Burung yang tidak bisa terbang ini akhirnya punah pada akhir tahun 1800-an.
Meski demikian, pemimpin studi dari Australian Centre for Ancient DNA Nic Rawlence menyebutkan, hingga sekarang sulit menentukan respon dari moa terhadap perubahan lingkungan pada 50.000 tahun terakhir. Sebab, kedatangan manusia dan perubahan iklim terjadi secara simultan di seluruh belahan dunia.
Tapi diketahui sebelum kedatangan manusia, moa mampu mengatasi efek dari perubahan iklim dengan memilih habitat yang disukai. Ini terjadi ketika habitat mereka mulai meluas. "Seperti sudah disimpulkan sebelumnya, (populasi) moa tidak menurun banyak sebelum kedatangan manusia. Tapi cenderung stabil," kata Rawlence.
Yang mengejutkan, kata Rawlence, ditemukan bahwa kepunahan moa terjadi karena perburuan berlebih dan perusakan habitat yang terjadi pada iklim stabil.
"Di belahan dunia lain, perubahan iklim sering disalahkan sebagai penyebab kepunahan megafauna. Tapi bukan ini yang terjadi pada moa," kata sesama penulis penelitian, Jessica Metcalf dari the University of Colorado, Amerika Serikat.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR