Pada 24 Juli 2012 lalu Indonesia dilanda bencana yakni terjadinya banjir bandang atau dikenal dengan nama galodo di Limau Manis, Kota Padang, Sumatra Barat. Bencana tersebut menimbulkan kerugian rumah hanyut, ratusan rumah terendam, dan pengungsi yang mencapai 1.200 jiwa.
Beberapa peneliti Indonesia yang tergabung dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Andalas, pemerintah daerah Kota Padang, serta pemerintah Provinsi Sumatra Barat, berhasil menemukan bahwa banjir bandang tersebut terjadi akibat bendung alam di anak sungai Limau Manis, Bukit Barisan.
“Peristiwa unik yang terjadi pada banjir bandang kemarin adalah dari keempat sungai yang diduga menyebabkan banjir, hanya sungai Limau Manis yang membawa material tanah, bebatuan, dan batang pohon. Sedangkan sungai lainnya hanya membawa air,” papar peneliti dari UGM Salahuddin Husein, ketika mempersentasikan hasil penelitian di Yogyakarta, Senin (13/8).
Setelah banjir bandang selesai menyapu area persawahan dan pemukiman, ternyata terdapat bekas endapan banjir yang diduga berusia ratusan tahun. Endapan banjir lama ini semestinya tidak boleh digunakan untuk pemukiman karena ternyata alih fungsi lahan menghidupkan kembali banjir yang lama.
Dengan kata lain, tambah Salahuddin, banjir bandang kemarin adalah proses pengembalian fungsi alamiah lembah dan jenis aliran sungai yang sebelumnya diubah dengan rekayasa manusia.
Sungai Limau Manis memiliki morfologi cekungan yang unik di bagian hulu dengan karakter melebar yang menyerupai ‘sendok’ dengan diameter sekitar dua kilometer, menyempit menuju ke arah hilir. Karakter morfologi seperti ini dikontrol oleh variasi batuan yang mudah tererosi di suatu tempat. Membentuk cekungan luas yang diselingi oleh batuan resisten yang membentuk lembah sempit.
Penyempitan lembah aliran sungai rawan terhadap pembendungan alami, di mana material permukaan seperti tanah, batuan, dan batang pepohonan, mampu membentuk bendung alam di bagian yang sempit, pada akhirnya akan menimbulkan pengumpulan massa air di bagian hulu.
“Ketinggian air hulu kritis, bendungan alam tersebut dapat saja runtuh oleh kekuatan gravitasi yang bekerja pada massa air yang besar dan memicu terjadinya banjir bandang di bagian hilir aliran sungai,” ujar Salahuddin.
Faisal Fathani, anggota tim peneliti lain mengatakan bahwa ada beberapa usaha mitigasi untuk mengurangi risiko bencana. Dengan penataan alur sungai, penataan daerah hulu, dan penerapan sistem peringatan dini.
Penataan alur sungai dilakukan dengan mempertahankan sempadan sungai dan fungsi badan sungai. Mengamankan tebing sungai dari bahaya longsor serta pembuatan tanggul atau bangunan lain sebagai perlindungan terhadap elevasi muka air tinggi.
Sementara itu untuk penataan daerah hulu dilakukan melalui pengawasan ketat kegiatan penebangan (logging) di sekitar daerah tangkapan serta realisasi dari wacana pembangunan waduk pengendali banjir di daerah hulu sungai-sungai.
Selanjutnya, untuk itu penerapan sistem peringatan dini banjir bandang dapat dilakukan dengan menempatkan alat pemantau di bagian hulu dan instrumen peringatan dini kepada warga masyarakat di bagian hilir sungai. Alat pemantau yang dapat digunakan adalah Automatic Rainfall Recorder (ARR) dan Automatic Water Level Recorder (AWLR). Alat berupa ultrasonic sensor dan sistem pendulum yang ditempatkan di daerah hulu.
“Sistem ini telah banyak dikembangkan di beberapa daerah bencana di Indonesia salah satunya pada aliran sungai vulkanik di Gunung Merapi untuk memantau datangnya aliran lahar dingin,” kata Faisal.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR