Mulai 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan merintis pendirian Akademi Komunitas (AK) di daerah-daerah, untuk pengembangan di jalur pendidikan vokasi atau kejuruan.
Sebagai awal, pada tahun ini pemerintah rencananya mendirikan 20 AK percontohan di beberapa kota. Diharapkan nantinya AK ada di setiap kota/kabupaten secara bertahap membuka jenjang program setingkat diploma satu dan dua.
Mendikbud M. Nuh menyatakan, daerah yang menjadi lokasi berdirinya AK dipilih berdasarkan empat parameter atau kriteria. Pertama, pertimbangan wilayah dengan populasi penduduk tinggi. Hal tersebut ditujukan untuk menghindari pertumbuhan pengangguran muda. "Jika para pemuda memiliki keterampilan, maka mereka akan jadi sumber tenaga kerja," katanya, pada Senin (27/8).
Kedua, AK akan dibangun terutama di kantong-kantong penyedia tenaga kerja yang biasanya mencari pekerjaan di luar negeri (TKI). Ketiga, di wilayah yang sumber daya alamnya belum dikelola dengan baik misalnya daerah pesisir dan perbatasan.
Kriteria terakhir, pendirian AK akan diintegrasikan dengan kebutuhan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Djoko Santoso menambah, tujuan pendirian AK juga untuk menekan kesenjangan di antara pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan masyarakat setempat. Pendirian AK disesuaikan dengan kebutuhan wilayah, seperti program studi agro, otomotif, atau perhotelan.
Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengatakan, AK perlu diapresiasi. "Lembaga pendidikan ini baik untuk pengembangan pendidikan dalam negeri. Dengan pola pengajaran pelatihan, tapi dengan biaya lebih terjangkau. Dan akan ada di setiap daerah," tuturnya.
Dipertanyakan
Namun, inisiasi Kemdikbud yang praktis memperluas akses pendidikan tinggi ini ditanggapi beberapa pihak secara negatif. Tidak sedikit tokoh pendidikan Indonesia menilai, keberadaan AK malah mengancam perguruan tinggi. Kemudian istilah akademi pun dipertanyakan karena tidak pas dengan pendidikan yang sifatnya vokasional.
"Istilah 'akademi' ini rancu dengan institusi pendidikan yang telah ada. Juga tidak ada dalam UU Sistem Pendidikan Nasional," kata HAR Tilaar, guru besar emeritus Universitas Negeri Jakarta.
Sedangkan Direktur Eksekutif Institute for Education Reform di Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen mengatakan, akan lebih baik apabila AK diganti menjadi kursus yang diformalkan atau balai latihan kerja seperti sudah ada selama ini.
"Jika tujuannya untuk menyerap lulusan yang tak dapat melanjutkan ke S1, bisa juga memodifikasi politeknik yang sudah ada. Tak perlu membuat institusi pendidikan baru," ujar Abduhzen.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR