Kepulauan Ninepin Group atau disebut juga Kwo Chau Island di Hong Kong ternyata lebih dari sekedar pulau vulkanik. Pulau ini dinyatakan berdiri di atas sisa-sisa supervolcano kuno yang sudah tidak aktif lagi.
Mayoritas daratan Hong Kong -termasuk Kwo Chau Island- berada di atas reruntuhan supervolcano dengan kaldera selebar 18 kilometer, demikian dinyatakan otoritas China, akhir Agustus 2012.
Meski pernah menghasilkan letusan besar, supervolcano ini diklaim tidak menimbulkan ancaman pada penduduk Hong Kong. Dia sudah punah setelah letusan terakhirnya 140 juta tahun lalu.
Dinyatakan geolog dari Departemen Geoteknik dan Perkembangan Hong Kong, Denise Tang, risiko bahaya yang ada saat ini hanyalah turis yang berusaha mengunjungi Kwo Chau Island. "Tak ada fasilitas di sana (Kwo Chau), jadi kami tak bisa merekomendasikan usaha untuk mendarat," ujar Tang.
Pernyataan otoritas tentang status pulau ini mendatangkan wisatawan lebih banyak lagi. Mereka tertarik dengan batuan heksagonal dan gua-gua yang terbentuk akibat proses alamiah.
"Penemuan ini sangatlah penting, bukan hanya kita menemukan volume besar material yang sudah lama meletus, tapi kini kita juga tahu sumber magmanya," tambah Tang.
Dalam Ekspedisi Cincin Api Kompas disebutkan, istilah supervolcano digunakan untuk gunung api yang dapat mengeluarkan sedikitnya 300 kilometer kubik magma dalam letusannya. Indonesia pernah mengalami letusan ini ketika supervolcano Toba, Sumatra Utara, memuntahkan isi perut bumi pada 73 ribu tahun lalu. Letusan ini dianggap sebagai yang terkuat dalam periode dua juta tahun terakhir.
Salah satu supervolcano lain di Nusantara adalah Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang meletus hebat pada 10 April 1815. Suara letusannya terdengar hingga ke Sumatra (2.000 kilometer), Jakarta (1.250 kilometer), dan Ternate (1.400 kilometer).
Disebutkan dalam Data Dasar Gunung Api di Indonesia, gejala letusan Tambora terasa lima hari sebelumnya. Mencapai puncaknya pada 10 April dan akhirnya mereda pada 12 April 1815. Kegiatan Tambora masih terasa hingga Agustus 1819 dengan suara gemuruh yang kuat, gempa bumi, dan terlihatnya bara api.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR