Analisis iklim perlu dimasukkan dalam kajian risiko bencana. Pasalnya, berdasarkan data kebencanaan terakhir dari Badan Nasional Penanggulan Bencana, sebanyak 96 persen dampak bencana disebabkan karena perubahan iklim.
Hal ini dikemukakan oleh Disaster Risk Reduction Specialist Mercy Corps Sofyan, dalam diskusi "Peran Media Dalam Penanggulangan Risiko Bencana" di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (24/10). Sofyan mengatakan, pola mitigasi bencana di Indonesia kurang memperhatikan perubahan iklim. Padahal, analisis perubahan iklim ini penting karena bisa mengetahui prediksi dampak bencana hingga 25 tahun ke depan.
“Pola mitigasi bencana seringkali masih berdasarkan pada aspek kewilayahan. Padahal, BMKG sudah menyiapkan analisis iklim yang seharusnya bisa menjadi acuan berbagai pihak untuk melakukan mitigasi bencana,” ungkapnya.
Analisis iklim efektif digunakan untuk penanggulangan bencana alam baik yang bersifat geologis maupun hidrologis. Bencana hidrologi seperti banjir, kekeringan, kebakaran, wabah penyakit, longsor, gagal panen. Sedangkan bencana geologis seperti tsunami, gunung merapi, bencana teknologi.
Kepala (BNPB) Syamsul Maarif mengatakan, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah memiliki tanggap mitigasi bencana yang berdasar pada perubahan iklim. Ia mencontohkan, masyarakat sudah punya ide untuk membuat waduk kecil di tengah sawah untuk mengadaptasi dan mencegah bencana kekeringan. Kendati demikian, pola mitigasi bencana berdasar analisis iklim masih harus perlu dikembangkan di seluruh daerah Indonesia.
“Yang masih menjadi persoalan seringkali merujuk pada terbatasnya dana untuk melakukan mitigasi bencana tersebut. Dana untuk bencana di daerah masih sangat minim yakni sekitar 0,38 persen,” tambah Syamsul.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR