Kembali, ratusan spesimen ofset satwa liar yang dilindungi yang telah disita oleh pihak pemerintah dimusnahkan. Pemusnahan dilaksanakan pada Senin (12/11) pagi di halaman gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Kehutanan, Jakarta, dengan disaksikan pihak Kemenhut dan instansi terkait.
Total 962 buah ofset satwa langka dan bagian-bagiannya yang terkumpul merupakan barang bukti perdagangan satwa ilegal hasil operasi kerja sama berbagai pihak, termasuk Kepolisian serta Kejaksaan. Dari jumlah keseluruhan ofset mendekati seribu itu, 258 buah yang dibakar.
Sementara, 710 buah sisa ofset yang masih bisa dimanfaatkan dari 43 spesies, diserahkan kepada lembaga-lembaga penelitian sebagai sampel untuk tujuan pendidikan dan konservasi.
Antara lain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Konservasi Alam (PPHKA), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Museum Kehutanan.
Ofset satwa yang dibakar terdiri dari 48 spesies di antaranya harimau Sumatra, macan tutul, beruang madu, gajah, cenderawasih, dan trenggiling. Trenggiling (Paramanis javanica) adalah salah satu satwa yang terancam oleh perdagangan satwa liar. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengakui, perdagangan trenggiling di Indonesia tergolong luar biasa.
"Sering sekali kami dapati (trenggiling) ini. Bisa tiap dua hingga tiga bulan sekali, satu kontainer. Setelah kami tangkap, lalu dimusnahkan, tetapi masih ada lagi," ungkapnya.
Trenggiling umumnya ditemukan di kebun dan rawa-rawa di area Pulau Sumatra dan Kalimantan. Hewan ini bisa diselundupkan sampai ke luar negeri.
Maraknya penjualan trenggiling disebabkan banyak yang menjadikan dagingnya untuk makanan dan sisiknya untuk obat. Di 2011, ada sekitar 21 ton trenggiling (berat satu ekor 6 kilogram) diamankan petugas.
Efek jera
Setiap orang yang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa dilindungi dalam keadaan hidup ataupun mati dikenai pasal 21 UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman hukuman penjara. Pengecualian dari larangan ini hanya dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan penyelamatan satwa.
Menurut Zulkifli, sanksi tegas berupa hukuman penjara diperlukan agar menimbulkan efek jera bagi pelaku. "Hukuman seberat-beratnya untuk timbulkan efek jera. Bayangkan, yang mereka bunuh adalah satwa-satwa terancam punah, gajah, harimau, beruang, orangutan," jelasnya.
Dirjen PHKA Kemenhut Darori mengatakan, saat ini perdagangan satwa liar sudah makin canggih. "Bukan lagi cara lama. Misalnya sekarang sudah bisa diperjualbelikan di internet," katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR