Usianya memang telah melewati angka 60. Namun, ia tak kenal lelah untuk berkarya. Pada tahun 80-an namanya menjulang bersama kelompok musik The Police, yang mengusung aliran new wave. Mereka berhasil mencuri perhatian dunia musik saat itu.
Anda pasti tahu sosok ramah dan bersahaja ini. Sting yang akan kembali menyapa publik Jakarta malam nanti telah mengajarkan kepada kita bagaimana siapa saja dapat berbuat sesuatu bagi alam dan lingkungan sekitar.
Bersama sang istri, Trudie Styler, musisi yang terlahir dengan nama Gordon Matthew Sumner ini, mendapatkan penghargaan “Oscar Lingkungan” dari Panitia Film Hijau (Lingkungan) Internasional di Harvard Club, New York, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu —kegiatan ini digelar oleh Yayasan Sinema untuk Perdamaian dan BMZ, Kementerian Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Jerman.
Saat mendapatkan penghargaan, Sting menyatakan kebahagiaannya. Sting dan Trudie menyalurkan uang hadiah sebesar Rp28 miliar itu untuk Yayasan Hutan Hujan (Rainforest, yang mereka dirikan pada 1989).
Sting berujar kepada BBC, "Ini sangat spesial. Ini adalah Oscar Hijau dan untuk kerja lingkungan kami dan alasan kami melakukannya bukan karena akan mendapat penghargaan. Namun kami sangat senang ketika kami menerima semacam ini."
Apabila kita telaah, minat Sting terhadap upaya pelestarian bukanlah tiba-tiba. Ia mulai tertarik setelah melakukan konser di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1987. Ketika itu, sahabatnya mengajak bertualang ke hutan Amazon. Di sana, ia berjumpa dengan sejumlah kepala suku Indian di Taman Nasional Xingu.
Tahun 1989, Sting mendirikan Yayasan Hutan Hujan bersama sang istri. Menurut situs resminya, http://www.rainforestfund.org/, organisasi ini merupakan tindakan pertama Sting untuk memenuhi janjinya kepada Raoni, pemimpin Suku Kayapo yang bermukim di belantara Amazon.
Sang kepala suku meminta Sting untuk membantu ia dan rakyatnya memperoleh hak hukum atas tanah adat mereka. Dan, janji itu terpenuhi tahun 1992.
Pada masa awal organisasi memang bekerja untuk wilayah Amazon. Namun, kini yayasan itu telah mengembangkan sejumlah program di berbagai negara: Belize, Kamerun, Kosta Rika, El Salvador, Guatemala, Guyana, Honduras, Indonesia, Madagaskar, Meksiko, Nikaragua, Papua New Guinea, Peru, Suriname dan Venezuela.
Yayasan itu mengusung filosofi untuk mendukung masyarakat adat hutan hujan dalam upaya mereka melestarikan tanah adat dan membela hak-hak mereka. Mereka selalu menjadi salah satu pendukung proyek yang dinisiasi oleh lembaga swadaya masyarakat dan kelompok adat yang berurusan dengan hak atas tanah, hutan pelestarian dan persediaan sumber daya, serta dukungan hukum, perlindungan hak asasi manusia, kampanye dan advokasi.
Di luar aktivitas yayasan, Sting kerap berhati-hati dalam menggelar konsernya. Di Kazakstan, musisi yang terakhir kali di Jakarta tahun 1994 untuk mempromosikan album Ten Summoner’s Tales itu membatalkan konsernya pada 2011.
Ia menuruti rekomendasi Amnesty International yang menyatakan terjadi penindasan terhadap pekerja minyak di negara itu. Menurut Sting, para pekerja di bidang minyak dan gas bumi serta keluarga mereka membutukan dukungan berbagai pihak.
Dengan setia mengusung filosofi Yayasan Hutan Hujan, pelantun tembang “Fragile” ini juga mendengarkan masukan dan saran dari LSM setempat. Ia memindahkan tempat konsernya di Filipina lantaran mendapatkan surat dari Karlo Marko Altomonte yang menyatakan rencana SM Prime Holdings akan menebang ratusan pohon.
Perusahaan besar yang mengelola lokasi konser Sting itu akan memangkas 182 pohon di wilayah utara Filipina untuk membangun mal yang dilengkapi dengan lapangan parkir. Menurut Karlo Marko Almonte, rencana penebangan pohon itu dapat meningkatkan polusi udara dan berpotensi menimbulkan bencana tanah longsor dan banjir di Baguio City.
Sting setuju terhadap isi surat itu. Ia meminta konsernya dipindahkan dari SM Mall of Asia Arena pada 9 Desember lalu.
Wartawan Kompas, Myrna Ratna yang berkesempatan melakukan wawancara dengan Sting di Jakarta, melontarkan pertanyaan: “Ada begitu banyak isu saat ini, seperti pemanasan global, air bersih, kelaparan, dan perang. Apa Anda kerap merasa tak berdaya?”
Lantas, musisi yang melakukan tur reuni The Police pada 2007 - 2008 ini menukas, “Saya pikir kuncinya adalah kesabaran. Pelajaran yang saya peroleh selama bertahun-tahun adalah keajaiban itu tidak mungkin terwujud dalam semalam dan yang bisa membuatnya berhasil adalah proses—tahan banting, determinasi, dan proses dari hari ke hari. Anda harus terus menggelutinya dan akhirnya Anda akan meraih hasilnya. Apa pun hasilnya, sekecil apa pun itu, itu layak diperjuangkan.”
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR