Sepekan ini media massa dunia terhenyak dengan berita penembakan di Sandy Hook Elementary School, Newtown, Connecticut, Amerika Serikat. Bukan hanya jumlah korbannya yang mencengangkan, tapi anak-anak yang tewas di dalamnya.
Adam Lanza sebagai pelaku, menembak mati 20 anak dan enam orang dewasa pada Jumat (14/12) lalu. Lanza sebelumnya menembak ibu kandungnya dan berakhir dengan bunuh diri.
Kondisi ini mendatangkan pertanyaan, kenapa pembunuh massal kebanyakan kaum pria? Menurut Marissa Harrison, asisten profesor psikologi di Penn State Harrisburg, AS, hal ini kemungkinan besar dipicu karena adanya ancaman pada status sang pelaku.
"Apapun yang mengancam status seorang pria, maka itu menjadi ancaman reproduktif," ujar Harrison yang juga menyatakan 98 persen pembunuh massal adalah laki-laki.
Kesimpulan ini didapatnya setelah memeriksa 90 pria pembunuh massal dari tahun 1996 hingga 2008. Menurut Harrison dan koleganya, ancaman itu berupa di-bully atau kehilangan pekerjaan. Ancaman ini memicu kejadian pembunuhan pada 88 persen kasus yang ada.
"Kebanyakan dari mereka punya ikatan dengan korban, atau si korban mewakili simbol tertentu pada si pembunuh," tambah Harrison.
Namun, bukan artinya perempuan tidak memiliki rasa kejam atau mendendam. Hanya sifatnya saja yang berbeda. Sebagai contoh, pria lebih suka menggunakan senjata api, sedangkan perempuan lebih memilih menenggelamkan atau mencekik korbannnya.
Mary Muscari, pendamping profesor di Decker School of Nursing di Binghamton University, menyebutkan, perempuan juga punya sifat mendendam. Terutama mereka yang sudah dilecehkan secara seksual. Perbedaan utamanya," Perempuan menyesali fantasi balas dendamnya," kata Muscari.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR