Mansur Yasong menyisir lubang dan gundukan pasir pantai Pinjan Tanjung Matop, Tolitoli utara, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Di hamparan pantai kawasan Suaka Margasatwa itu ada sekitar tujuh gundukan besar yang biasa menjadi pangkalan peteluran maleo (Macrocephalon maleo). Di situ, kawanan burung yang menjadi ikon Sulawesi Tengah itu menggali pasir, menaruh telur-telurnya.
Tiba-tiba dia berhenti. “Mau lihat telur, mau?” tanyanya. Tanpa menunggu jawaban, dia menggali pasir. Jagawana Suaka Margasatwa Tamrin A. Latery dan Suleman, sukarelawan, terdiam. Bagi mata awam, lubang dan gundukan di pasir halus berwarna hitam itu tak ada yang istimewa. Tapi Mansur mampu mendeteksi tempat maleo menaruh telurnya di kedalaman pasir.
Mansur masih terus menggali. Perlahan, setelah sedalam lengannya, telur burung yang juga disebut maleo senkawor itu pun ketemu. Di dalam pasir, telur sebesar telapak tangan itu nampak tentram. Warnanya: coklat, seperti telur ayam petelur; ukurannya: sekira lima telur ayam.
Perlahan, Masyur menyisihkan butiran pasir di sekeliling telur. “Ini mungkin telur lima hari yang lalu,” kata Mansur. Dia mengambilnya pelan-pelan, memasukkan dalam tas. “Jangan sampai terbalik, posisinya harus seperti dalam pasir.” Jika terbalik, telur bisa jadi tidak menetas.
Mansur cerdas membaca tanda alam yang ditinggalkan burung endemik Sulawesi itu. Tamrin dan Suleman yang ikut menelisik pantai, selalu luput mendeteksi sarang maleo. Sesekali Tamrin coba menggali pasir, siapa tahu ada telur. Nihil.
“Oh, gampang, semua kan ada kodenya,” terang Mansur kalem. Buat orang awam memang tidak gampang menemukan telur maleo yang terpendam. “Kalau orang tidak tahu, tidak mudah. Seharian juga belum tentu dapat dia….”
Setelah menimbun lubang peteluran, maleo kerap meninggalkan tanda di atas pasir. Cakaran terakhir inilah yang menjadi penanda letak telur. “Setelah menimbun, ada cakarannya yang mengarah ke lubang telur,” terang Mansur.
Toh, tetap saja tak gampang menelisik bekas-bekas kais cakar sang maleo. Selama bertahun-tahun Mansur belajar dari mendiang ayahnya. Ketika masih sekolah dasar dia kerap diajak sang ayah ke pantai ini. Dari situ dia belajar.
“Saya mewarisi ilmu ayah,” tutur Mansur yang mata kirinya terus berair. Noktah putih menutupi sebagian selaput pelangi matanya. Sesekali dia membuka kacamatanya yang ringkih, berlensa muram. Menyapu air mata yang terus meleleh. Dia belum bisa berobat. “Tidak punya uang,” tuturnya lirih, “kena angin barat lima bulan lalu.”
Dia mengamati bahwa kelompok maleo yang sama akan datang kembali setelah satu pekan berselang, bertelur kembali. “Tiga sampai empat kali turun bertelur dalam sebulan.”
Setelah 55 – 56 hari, telur akan menetas. Anak-anak maleo kerap muncul ke permukaan pada malam hari. Sembari mendekam menunggu hari terang, dia membersihkan badan. Terbang pertama, si anak maleo menuju pantai, lantas terbang menyelinap ke dalam hutan.
Dengan hanya mata kanan yang normal, Mansur masih tajam mendeteksi liang perteluran. Buktinya: beberapa langkah dari rongga peteluran pertama, dia kembali menemukan sebutir telur. Lubang kedua ini luput dari perhatian Tamrin dan Suleman yang telah melewatinya. Kendati musim bertelur telah lama lewat, hari itu Mansur mendapatkan dua telur.
Dia memboyong dua butir telur untuk dipendam lagi di kandang penetasan. Kandang berdinding dan beratap jaring ini seukuran empat kali sepuluh meter, berada di tepi pantai. Tak jauh dari tempat penetasan, berdiri kandang pemeliharaan untuk memelihara anak-anak maleo sementara waktu.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR