Di beranda salah satu rumah di Dusun Meduran, Desa Asri Katon, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur, nampak berapa orang dewasa tekun bekerja menjahit sepatu. Tatapan mereka terfokus pada jarum tajam di tangan.
Berkonsentrasi penuh agar akar pekerjaan mereka rapi dan jarum tajam tak melukai tangan. Dua anak kecil berumur tiga tahunan ada di dekat mereka. Sesekali anak-anak kecil itu mendekat lalu memeluk salah seorang pekerja yang paling tua, Ibu Fatihah yang berusia 44 tahun. Dengan kasih sayang ia membalas pelukan anak-anak. Pipinya disodorkan untuk mencium dan dicium anak-anak itu.
Kedua anak kecil itu adalah cucunya sendiri dan anak tetangganya yang sedang dia momong. Setiap hari kerja tetangga selalu menitipkan anak padanya untuk diasuh. “Ini anak tetangga belakang runah”, jelas Fatiha sambil menggendong anak itu.
Dalam tradisi Jawa pola ibu asuh ini disebut momong, saat orang tua tak sempat atau tak bisa mengasuh anak sendiri dia menyerahkan pada orang yang dia percayai untuk mengasuhnya.
Ibu Fatihah dapat upah untuk mengasuh anak tetangga, tiap bulan ia dibayar Rp500.000. Itu adalah pekerjaan sampingannya, yang utama ia bekerja sebagai buruh rumahan penjahit sepatu. Pekerjaan itu dilakoninya sejak belasan tahun yang lalu.
Bahan sepatu yang hendak ia jahit diambil dari mandor dekat rumahnya. Mandor mengambil bahan sepatu dari pabrik yang beroperasi di desanya. Untuk tiap sepatu yang dijahit ia mendapat upah tertinggi Rp2,750 per pasang. Tergantung jenis sepatunya, ada yang lebih murah dari itu.
Setiap harinya dia mendapat jatah bahan mentah dari mandor sekitar lima hingga tujuh pasang. Setiap harinya ia bisa mendapat upah Rp13,750 sampai dengan Rp19,750. Ia dibantu anaknya, Aliyah, dan suami anaknya juga adik laki-lakinya. Dalam seharinya mereka berempat bisa mengerjakan 50 pasang sepatu. Setiap sore atau malam hari sepatu yang sudah dijahit itu diantar ke mandor sambil mengambil kembali bahan mentah sepatu.
Waktu Fatihah masih muda dalam sehari bisa menjahit 10 -17 pasang sepatu. Ia mulai menjahit sepatu saat anaknya Aliyah berumur empat tahun. Karena banyaknya sepatu yang ia harus selesaikan sering kali dia tidak tidur, jam kerjanya panjang. Dalam sehari ia bisa mendapat uang sampai lebih dari Rp150.000. Ia sangat produktif. Tenaganya dia curahkan untuk bekerja menjahit sepatu.
Kini usia semakin bertambah ia tidak seproduktif dulu lagi. Suaminya pun telah meninggalkannya demi wanita lain. Anaknya, Aliyah, 21 tahun, mulai mengambil alih peran Fatihah. Aliyah seproduktif ibunya di masa muda dulu. Aliyah kini punya anak perempuan berumur tiga tahun. Siklus yang hampir sama seperti Fatihah dulu saat memulai menjadi buruh rumahan menjahit sepatu.
Ada saat-saat senang bekerja sebagai buruh rumahan, ia tak perlu meninggalkan rumah untuk bekerja. Sehingga ia bisa mengurus anaknya bahkan anak tetangganya.
Tak enaknya jika sepatu yang dia kerjakan menjadi cacat, ia diharuskan mengganti. Misalnya sepatu putih terkena noda atau kulit bahan sepatu yang tergores.
“Kalau sepatu rusak harus diganti uang, perpasang sebesar Rp30.000 sampai Rp60.000.” ujar Fatihah. Uang sebesar itu jelas lebih besar dari upah harian yang didapatnya saaat ini.
Untuk menambah pemasukan itulah Fatihah mejadi buruh momong anak tetangga. Ia semakin tua, sudah belasan tahun terus setia menjahit sepatu. Buruh rumahan memang menjadi alternatif pekerjaan masa kini. Tapi tetap harus ada perlindungan sosial yang diberikan oleh pihak pemberi kerja kepada yang mengerjakannya.
Contohnya Fatihah dan Aliyah, tak ada jaminan kesehatan atau pun jaminan hari tua yang diberikan pihak pemberi kerja. Tak ada asuransi kesehatan jika ada kecelakaan saat bekerja. Semua harus ditanggung sendiri. Untungnya tak ada kecelakaan kerja serius yang pernah dialami Fatihah dan Aliyah. Paling hanya jari tertusuk jarum.
Entah sampai kapan Fatihah akan terus menjahit, karena ia butuh pekerjaan itu untuk membiayai keluarganya. Terutama untuk anak laki-lakinya yang masih kecil. Ia bergantung pada pekerjaan itu karena ia tak punya keahlian dan kesempatan lain. Kalau ia pensiun toh ada anaknya Aliyah yang akan menggantikannya, mungkin juga cucunya anak Aliyah suatu saat nanti. Siklus perekrutan buruh rumahan terus terjadi.
Fatihah dan Aliyah potret buruh rumahan di Indonesia yang bekerja belasan tahun dan turun temurun tapi tanpa perlindungan sosial dari pihak pemberi kerja. Sesungguhnya banyak Fatihah dan Aliyah di sekitar kita, tapi sayangnya mereka tersembunyi.
Menurut Cecilia Susiloretno Sekretaris Jenderal Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia atau MWPRI, di kota Malang, “Data mereka tak tertera di Biro Pusat Statistik dalam jumlah angkatan kerja. Karena tak terdata maka tak ada kebijakan spesifik untuk mereka.”
Dengan kata lain keberadaan mereka seperti siluman, ada namun tiada. Karena tak terlihat maka tak tersentuh.
“Mereka tak terlihat karena tersamar sebagai ibu rumah tangga. Mereka tersembunyi, kegiatan mereka di dalam rumah sehingga tak terpantau,” lanjut Cecilia lagi. “Sudah saatnya pemerintah menaruh perhatian kepada buruh rumahan,“ tegas Cecilia.
Entah kapan itu akan terlaksana, karena pemerintah Indonesia belum meratifikasi aturan Organisasi Buruh Internasional (ILO) soal buruh rumahan. Ini adalah pekerjaan rumah untuk kita semua.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR