Contohnya Fatihah dan Aliyah, tak ada jaminan kesehatan atau pun jaminan hari tua yang diberikan pihak pemberi kerja. Tak ada asuransi kesehatan jika ada kecelakaan saat bekerja. Semua harus ditanggung sendiri. Untungnya tak ada kecelakaan kerja serius yang pernah dialami Fatihah dan Aliyah. Paling hanya jari tertusuk jarum.
Entah sampai kapan Fatihah akan terus menjahit, karena ia butuh pekerjaan itu untuk membiayai keluarganya. Terutama untuk anak laki-lakinya yang masih kecil. Ia bergantung pada pekerjaan itu karena ia tak punya keahlian dan kesempatan lain. Kalau ia pensiun toh ada anaknya Aliyah yang akan menggantikannya, mungkin juga cucunya anak Aliyah suatu saat nanti. Siklus perekrutan buruh rumahan terus terjadi.
Fatihah dan Aliyah potret buruh rumahan di Indonesia yang bekerja belasan tahun dan turun temurun tapi tanpa perlindungan sosial dari pihak pemberi kerja. Sesungguhnya banyak Fatihah dan Aliyah di sekitar kita, tapi sayangnya mereka tersembunyi.
Menurut Cecilia Susiloretno Sekretaris Jenderal Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia atau MWPRI, di kota Malang, “Data mereka tak tertera di Biro Pusat Statistik dalam jumlah angkatan kerja. Karena tak terdata maka tak ada kebijakan spesifik untuk mereka.”
Dengan kata lain keberadaan mereka seperti siluman, ada namun tiada. Karena tak terlihat maka tak tersentuh.
“Mereka tak terlihat karena tersamar sebagai ibu rumah tangga. Mereka tersembunyi, kegiatan mereka di dalam rumah sehingga tak terpantau,” lanjut Cecilia lagi. “Sudah saatnya pemerintah menaruh perhatian kepada buruh rumahan,“ tegas Cecilia.
Entah kapan itu akan terlaksana, karena pemerintah Indonesia belum meratifikasi aturan Organisasi Buruh Internasional (ILO) soal buruh rumahan. Ini adalah pekerjaan rumah untuk kita semua.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR