Pemerintah daerah Aceh menyusun Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nasional (RTRWN) yang mengurangi area hutan di Aceh dari 68 persen menjadi 45 persen. Itu berarti 1,2 juta hektare lahan hutan konservasi Aceh akan dibabat.
Pembukaan kawasan hutan Aceh yang direncanakan tersebut membawa peringatan bahaya. Sebab akan berdampak pada meningkatnya bencana banjir, longsor, serta konflik antara manusia dan hewan.
Landscape Protection Specialist Graham Usher, yang sudah lama meneliti di Aceh, setuju bahwa tata ruang yang baru ini sekiranya mengakibatkan sejumlah dampak lingkungan dan dampak ekonomi yang merugikan bagi sebagian besar masyarakat.
Awalnya, saat masa kepemimpinan Gubernur Provinsi Aceh terdahulu, Irwandi Yusuf, pernah diusulkan penambahan hutan lindung dengan kebijakan Reforestasi, Redesain, dan Reduksi yang sudah dianggap cukup mengakomodasi kepentingan lingkungan.
"Mantan Gubernur Aceh (Irwandi) menyadari bahwa sektor pertanian sangat penting untuk Aceh, dan sektor tersebut sangat tergantung pada jasa lingkungan yang disediakan hutan Aceh. Dengan kata lain kesejahteraan masyarakat Aceh ditopang hutan Aceh," ujar Graham.
Efendi, juru bicara dari Koalisi Penyelamatan Hutan Aceh, mengutarakan, masyarakat menolak rencana ini. Seminggu yang lalu gabungan dari 18 lembaga masyarakat, baik lokal maupun internasional, mengirimkan surat penolakan RTRW Aceh ke Kementerian Kehutanan.
Ia memaparkan, sebenarnya alih fungsi lahan hutan tak jadi masalah selama didasari dengan alasan ilmiah atau dasar studi kelayakan yang kuat. "Akan tetapi, masyarakat tidak mengetahui sama sekali mengapa status hutan di sekitarnya, yang tadinya dari hutan lindung harus berubah fungsi," sambung Fendi.
Konversi hutan juga cenderung downgrading, seperti Cagar Alam Jantho, Aceh Besar, berubah ke status taman wisata alam; atau Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Aceh Singkil menjadi area penggunaan lain (other land use).
Graham Usher menyebut, sudah tidak ada lagi jatah bagi hutan yang dieksploitasi tanpa pengaruh ekologis yang signifikan, karena telah sejak lama area hutan ditebangi untuk dipakai sebagai hutan produksi.
Oleh karena itu, ia menegaskan, kehutanan Aceh harus lebih fokus pada pendapatan dari sumber nirekstraksi. Graham yang mencontohkan kasus spesifik beberapa daerah di Aceh—salah satunya Pidie—ini mengatakan pula, setiap sistem lahan punya histori sehingga memiliki kepekaan sangat tinggi, tidak boleh diganggu gugat.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR