Bagi tim National Geographic Indonesia dan Plant and Play libur akhir pekan di pengujung Maret menjadi istimewa. Tak sekadar menjelajah Magelang dan Yogyakarta, mereka pun semakin meresapi makna kegiatan “Plant and Play” yang telah digelar sejak awal tahun.
Di Desa Mangunsari, Kabupaten Magelang, misalnya. Tim mendapatkan pengetahuan mengenai pertanian organik yang telah dirintis oleh seorang petani di sana. Bila dihitung hingga saat ini, ia telah menjalankan pertanian yang berkelanjutan selama 17 tahun. Ketekunan itu telah menampakkan hasil positif—setidaknya bagi warga desa.
Namanya, Widagdo. Dialah yang mencetuskan kata “Tuton”‑yang digunakan untuk produk beras organik miliknya. Dia bilang, kata itu berasal dari "tutu" yang berarti proses menumbuk padi. Peralatan menumbuknya terdiri dari alu yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai penumbuk dan lumpang yang terbuat dari batu yang berfungsi sebagai wadah gabah yang akan ditumbuk.
Padi organik milik Widagdo memang butuh masa panen yang lebih lama daripada padi non-organik. Selisihnya, dua puluh hari. Namun, ia tak pusing soal itu. Yang penting adalah hasil akhir: kualitas padi yang sangat baik.
Begitu panen tiba, hingga 1,5 tahun lalu, Widagdo mengaku masih menggunakan jasa mesin penggilingan padi. Dengan mesin, Widagdo biasanya akan mendapati penyusutan kuantitas dari satu kuintal menjadi sekitar 68 kilogram. Hal itu disebabkan selain karena terlepasnya sekam dari bulir padi, juga banyak bulir beras yang ikut hancur tergerus mesin.
Demi memecahkan masalah penyusutan, Widagdo berinisiatif. Kembali ke petani zaman dahulu: menumbuk padi. Cara usang ini telah dilakukan sejak tiga kali masa panen. Dan, terbukti mumpuni. Widagdo pun mendapati selisih sekitar empat kilogram lebih banyak daripada menggunakan mesin. Selain itu, ia tak perlu membayar sewa mesin penggiling seharga Rp300/kilogram gabah.
Widagdo pun memberdayakan masyarakat setempat untuk menumbuk padi. Para penumbuk biasanya diberi upah antara Rp1.500 sampai Rp2.000 per satu kilogram gabah. Tak hanya menumbuk, namun hingga pemilihan bulir-bulir padi yang baik hingga siap kemas. Teknik ini juga yang menginspirasi penamaan produk beras miliknya.
Meski awalnya gagasan beras organik tersebut bertujuan sebagai konsumsi pangan sehat mereka sendiri, namun dalam perjalanannya sering kali dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Bahkan, misalnya, hasil penjualan satu kilogram beras organik digunakan untuk membeli tujuh kilogram raskin (beras bagi masyarakat berpenghasilan rendah).
Tidak ada tanda khusus yang membedakan beras organik dan non-organik, kecuali setelah dimasak kondisi nasi akan baik hingga mencapai empat hari. Karena itu, Widagdo menambahkan, bahwa modal utama pertanian organik adalah kejujuran. Sebab, apabila si petani nakal, bisa saja dalam proses bertani itu ia menambahkan urea.
Kini, selain untuk konsumsi pribadi, karena permintaan pasar yang tinggi terhadap beras organik, beras Tuton dipasarkan juga ke beberapa kota melalui Yayasan Kehati dan Lumbung Pangan Dunia (LPD). Beras organiknya dijual dengan harga mulai dari Rp15.000/kg dalam kemasan dua kilogram dan lima kilogram.
Widagdo berharap bahwa kelak akan ada pemodal untuk penggemukan sapi. Niat ini muncul ketika kebutuhan kotoran ternak sebagai elemen komposisi kompos cukup tinggi. Sedangkan untuk pangannya Widagdo akan mengandalkan penanaman rumput di pematang sawah.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR