Sesosok jenazah di dalam peti dibaringkan di tengah lingkaran. Anggota kerabat dan keluarga berpegangan tangan, melingkarinya. Suara-suara nyanyian dan doa berkumandang sepanjang ritual itu berlangsung.
Ma'Badong, nama upacara itu, merupakan bentuk tarian yang diiringi lagu-lagui melankolis. Awak National Geographic Indonesia berkesempatan melihat ritual ini sebelum si jenazah dibawa ke kubur batu.
Jarak peristirahatan terakhir itu hanya sekitar 300 meter dari kediaman keluarga si jenazah di Batutumonga, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Namun, tidak ada lagi air mata yang menetes saat jenazah dibawa, melainkan tawa ria.
Para pembawa keranda jenazah saling siram air, lumpur, bahkan (maaf) kotoran kerbau yang ada di jalur menuju perkuburan. "Ini supaya yang membawa keranda tidak merasa lelah," ujar Daud Rapa, guide kami selama di Toraja.
"Nanti kalau saya siram, kita (kamu) jangan marah ya," kata seorang pemuda tanggung diiringi kedipan mata.
Warga dan tetangga yang ada pun turut serta meramaikan seremoni ini. Seorang ibu dan anak perempuannya sudah menyiapkan dua ember air khusus untuk menyiram para pembawa jenazah menuju kubur batu.
Masyarakat luar juga diperbolehkan melihat dan mengantar si jenazah hingga batu yang ditentukan. Menurut Amir Achsin dalam bukunya Toraja, A Unique Culture, jenazah yang dimasukkan dalam liang dalam bentuk mumi. Makam batu pun sudah disiapkan sejak empat hari sebelumnya.
Namun, karena jenazah yang kami saksikan penguburannya sudah memeluk agama Nasrani, ia dikuburkan dalam peti. Untuk bisa dimasukkan dalam kubur batu, warga bergotong-royong menarik peti ke atas batu yang curam.
Kemudian dibantu topangan tiga bilah bambu besar untuk mendorong peti mendekati mulut makam. Di dalam makam, roh jenazah akan naik menuju ranah leluhur.
Prosesi penguburan ini sendiri merupakan bagian panjang dari ritual kematian dalam adat Toraja. Seminggu selepas penguburan pun masih ada lagi ritual yang harus dilakukan yakni pemotongan hewan yang dagingnya diberikan di depan makam. Di sinilah baru prosesi kematian selesai.
"Orang Toraja itu menghormati kematian, maka itu mereka sangat mempersiapkan kematian," ujar Aras Parura, pegiat dan pemerhati budaya Toraja.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR