Nationalgeographic.co.id - Inginkah Anda mencicipi bagaimana dan seperti apa membuat sajian makanan kelas atas semasa kolonial? Pada masa itu, tidak semua orang bisa memakan hidangan mewah yang bernama rijsttafel.
Sekitar 1870, rijsttafel hadir dalam lantaran pembaratan muncul akibat pasca terbukanya Terusan Suez di Mesir. Akibatnya, hidangan ini menjadi daya tarik untuk wisatawan yang datang ke Hindia Belanda dan disajikan di restoran kelas atas.
Meski demikian, beberapa di antaranya ternyata sebagiannya adalah hidangan sehari-hari saat ini. Lantas apa yang membuatnya berbeda?
Baca Juga: Rijsttafel: Gaya Hidup yang Menjadi Nilai Jual Pariwisata Kolonial
"Kalau kita runut, rijsttafel ini adalah istilah yang biasa digunakan untuk orang Belanda menyebut kebiasaan orang-orang Jawa yang menu sehari-harinya nasi, hidangan sayur, dan lauk pauk," papar Fadly Rahman saat dihubungi National Geographic Indonesia, Senin (16/08/2021).
"Disadari atau tidak, sebenarnya apa yang sekarang kita lakukan adalah implementasi dari rijsttafel yang disesuaikan."
Masyarakat di Jawa umumnya menggunakan sayur-sayur lodeh, sayur asem, dan jenis sayur bening lainnya. Sedangkan lauk biasanya menggunakan ikan asin, dan ikan bakar.
Karena maraknya perkebunan di Pulau Jawa yang harus diurusi pemerintahan Belanda pada 1840-an, rijsttafel muncul untuk mencoba makanan lokal dan Tionghoa. Sedang pada masa pembaratan, rijsttafel makin memiliki ciri khas ketika hidangan bercampur dengan sajian Eropa.
Kuliner Barat yang meresap dalam sajian rijsttafel antara lain frikadel (perkedel), sayur sup, huzarensla, zwartzuur (ayam suwar-suwir), indische pastei (pastel tutup), semur, dan masih banyak lagi. Meski bernuansa Belanda, beberapa makanan tersebut mengalami penyesuaian bahan dengan rempah lokal.
Baca Juga: "Rijsttafel" di Rumah Tuan Brandenburg
Beberapa makanan Tionghoa juga dicampurkan dalam pilihan menu, seperti capcay, fuyunghai, kwetiau, sate babi, dan ifumie. Selain itu juga memasukkan hidangan Arab dan India seperti kari yang disesuaikan dengan bahan misoa, bawang putih, bawang merah, jahe, kemiri, kunyit, gula, ketumbar, jintan, serai, salam, daun jeruk, dan santan kelapa.
Selain makanan Jawa, lauk seperti dendeng dan rendang khas Sumatera Barat juga digunakan. Rijsttafel juga mempengaruhi pada kebiasaan masakan Minangkabau kini, dimana pramusaji membawakan lauk sedemikian rupa untuk diletakkan di meja.
"Etnik yang paling banyak diadopsi praktik orang Jawa dan Minang. Jadi tidak heran kalau di rijsttafel menu-menu khas selain Jawa, menu khas Minang diadaptasi. Itu juga karena kedekatan elit-elit Minang dengan orang Belanda memunculkan transformasi konsep di kalangan Minang yang bermunculan warung-warungnya," Fadly menerangkan.
"Orang-orang Minang ini menyebar dan berdiaspora, jadi identiknya sekarang orang Minang di luar Sumatera membuka restoran, ya berhubungan dengan kebiasaan merantau."
Dalam penyajiannya, Fadly memaparkan dalam Rijsttafel Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, hidangan ini ada beberapa gaya. Gaya pertama adalah pola meja bundar yang juga digunakan oleh elit pribumi yang mengalami pembaratan. Meja bundar biasanya terdiri dari enam kursi yang tersedia dua piring besar, beberapa mangkuk, dan piring-piring kecil.
"Awalnya penikmat hidangan dipersilakan mengambil nasi berikut lauk-pauk, lalu menaruhnya di piring besar yang ada di hadapan mereka," tulis Fadly.
"Apabila sudah sangat penuh, hidangan lain dirempatkan di piring besar kedua yang berada di sebelah piring utama. Kemudian, ada beberapa sayur kuah yang ditempatkan dalam mangkuk, sementara bermacam-macam sambal ditempatkan dalam piring-piring kecil."
Baca Juga: Budaya Indis, Pupusnya Jejak Akulturasi Budaya Eropa dan Nusantara
Gaya kedua adalah model klasik yang sering dipakai dan mengalami perkembangan: model meja panjang. Model ini bisa diisi banyak orang, dan sering dipakai dalam acara pertemuan, atau menerima tamu kehormatan.
Melalui gaya ini, makanan disajikan secara prasmanan atau mengambil sendiri, yang digunakan oleh orang Belanda dan pribumi. Mengenai istilah 'prasmanan', Fadly mengatakan "istilah itu diserap dari bahasa Belanda, fransman yang artinya orang Prancis. Penyajian seperti ini diadopsi oleh gaya orang Prancis ketika menyantap hidangan."
"Akan tetapi, bagaimanapun, etika dan tata penyajian gaya Barat tetapi menjadi keutamaan dalam aspek penyajian ini," tulisnya mengenai kecondongan perkembangan prasmanan.
Fadly memaparkan bahwa dalam sajian rijsttafel, orang Eropa semasa Hindia Belanda menggemari beberapa santapan yang saat ini biasa saja. Sajian itu adalah pisang goreng, kerupuk, dan sambal.
Pisang goreng begitu digemari oleh orang Eropa, khususnya kalangan perempuan. Pada keistimewaan kerupuk yang kita anggap sebagai snack, dalam sajian rijsttafel bisa mendapatkan piring tersendiri untuk dihabiskan.
Baca Juga: John Verbeek Menyingkap Coretan dan Bungker Militer Belanda di Cisauk
Sedangkan sambal menjadi makanan "pencuci mulut yang rasanya panas (de heete teospijzen)". "Sebutan 'pencuci mulut yang rasanya panas' ini mungkin dilandasi fakta bahwa hidangan pribumi pada dasarnya mempunyai sifat 'sajian dingin (koud eten)," tulisnya dalam buku.
Ahli sajian Hindia Belanda van der Meijden yang dikutip Fadly, memaparkan ragam jenis sambal-sambal yang dapat dikreasikan. Kreasi itu seperti sambal ati, sambal babi, sambal bajak, sambal buncis, sambal brandal, sambal miesoa, sambal tomat, sambal petis, sambal serdadu, sambal telur, sambal goreng-dadar, dan sambal goreng daging.
Tetapi yang jelas, semua makanan berkuah di hidangan rijsttafel tidak dapat dipisahkan dari santan, dan harus dimasak dengan minyak kelapa dan mentega berkualitas agar terasa gurih bagi lidah Eropa.
Baca Juga: Bung Karno dan Sate Sebagai Penyambung Lidah Rakyat Asia-Afrika
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR