ASAP. KERINGAT. Sinar merah muda dan hijau membelah menembus kabut dari mesin. Terhimpit di antara tubuh-tubuh yang berputar, saya mencoba menyelinap ke depan, ke panggung dengan tirai-tirai berpayet yang menggantung. Saya mencium aroma tumpahan minuman rum dan merasa kepanasan.
Musik klub menghantam dada saya laksana palu. Di panggung utama, tiga perempuan muncul dari balik lingkaran awan putih, menari seirama dalam balutan rok sangat pendek.
Havana memiliki banyak tempat untuk mendengarkan musik Kuba dalam suasana santun. Casa de la Musica, tempat saya dan Anne (istri saya) menghabiskan malam terakhir kami, bukanlah salah satunya. Anda datang ke sini untuk mendengarkan band salsa paling top di Kuba memainkan musik bervolume kencang sepanjang malam.
Anda datang untuk berjoget, setelah menenggak banyak minuman, dengan pasangan Anda atau orang asing. Yang ingin kami dengarkan malam ini adalah musik yang merefleksikan kehidupan modern masyarakat Kuba: penuh hasrat, gairah, warna dan seksi.
Para penari menuntaskan pertunjukan mereka. Seorang pemandu acara tampil membawa mikrofon dan mengumumkan pertunjukan utama malam itu seakan sebuah gol telah dicetak dalam Piala Dunia. “Charangaaaa Habaneraaaa!” Sepasukan musisi—penyanyi, peniup terompet, pemain kibor dan sangat banyak pemain perkusi—tumpah ruah di atas panggung.
Semuanya berpakaian putih. Dan semuanya, begitu lagu pertama berkumandang, mulai berdiri berdampingan dalam sebuah koreografi rutin.
Sabor, sifat yang menurut para penggemar berat salsa menggambarkan kehebatan musik ini, secara harafiah memiliki arti kekayaan cita rasa. Definisi yang sebenarnya adalah sesuatu yang lebih bisa dirasakan daripada dipahami. Dan saya mengalaminya malam ini.
Berbincang, menikmati minuman—tiba-tiba semua aktivitas ini tak lagi menarik bagi saya. Saya ingin mempraktekkan keahlian menari saya, sekarang. Seizin Anne, saya mengajak seorang perempuan Kuba untuk menari bersama saya.
Ia menyebutkan namanya dan begitu juga dengan saya walau kami tak bisa mendengar dengan baik ucapan masing-masing di tengah dentam suara musik. Saya menggandeng tangannya dan kami meretas jalan menuju lantai dansa.
Sebelumnya pada hari yang sama, Anne dan saya kembali belajar menari salsa dari Grey Jorrin yang perfeksionis. “Tidak,” ia berkata, saat saya melangkah maju untuk melakukan gerakan berputar dan bukan melangkah mundur untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi Anne untuk berputar di depan saya.
“Tidak, tidak, tidak.” Kini, bahkan di antara dentam keras irama musik yang dimainkan Charanga Habanera, suara instruksi Jorrin masih tetap terngiang di kepala. Saya memegang tangan kanan pasangan saya menggunakan tangan kiri dan melingkarkan lengan saya di punggungnya.
Saya menghitung dengan cermat, mengingat pelajaran yang saya dapat, dan menggiringnya melewati diri saya dengan dile que no. “Anda sudah bisa menari salsa!” ia berteriak.
Sebuah lagu baru menggelegar membahana dalam dentam irama timba yang modern. Suara trompet menusuk telinga dan irama konga bergema di perut. Udara sekitar memanas seiring himpitan tubuh demi tubuh dari segala penjuru.
Dalam sekejap, saya tak lagi berpikir, saya hanya bergoyang, menari, berputar sebanyak alunan musik yang dimainkan para musisi di panggung. Yang saya rasakan, tak diragukan lagi, adalah sabor. Rasanya seperti cipratan cairan pemantik ke dalam api jiwa saya.
Ingin tahu lebih dalam tentang perjalanan di Kuba? Simaklah National Geographic Traveler edisi Mei 2013.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR