Rise up,
Change,
I'm my own master now
I feel as though I have power to do anything
(Bangkit, berubah, sekarang sayalah pemegang kendali atas diri saya. Saya merasa seakan punya kekuatan untuk lakukan apa saja).
Beberapa larik di atas merupakan kutipan terambil dari film Girls Rising, yang mengisahkan perjuangan sembilan anak perempuan di penjuru dunia membebaskan diri dari kungkungan kemiskinan, kelaparan melalui edukasi.
Laporan riset yang diselenggarakan oleh korporat Intel di negara-negara berkembang menyatakan ada masalah ketidakadilan penggunaan teknologi di tengah masyarakat. Perempuan cenderung terbatas dan tertinggal dalam berteknologi.
Riset yang telah rilis Januari 2013 tersebut berfokus pada empat negara yaitu Mesir, India, Meksiko, Uganda, dan menyurvei 2.200 perempuan dan anak perempuan yang hidup di sana. Hasilnya, rata-rata 25 persen perempuan yang "less online"--tertinggal dalam hal akses internet dibanding kaum laki-laki.
Dikatakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Indonesia Linda Amalia Gumelar, teknologi berperan memberi peluang untuk mencerdaskan perempuan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka.
Ini disampaikan Linda saat meluncurkan program Intel Indonesia yang didukung Plan Indonesia, Jurnal Perempuan, dan Kementerian PPPA sendiri dalam payung kampanye "Women, Girls and Technology", di Jakarta (25/4). "Program ini adalah komitmen bersama swasta, media, serta pemerintah untuk pengembangan teknologi bagi para perempuan dan anak perempuan," terang Linda.
Deva Rachman, Corporate Affairs Director Intel Indonesia, mengatakan bahwa teknologi terbukti membawa banyak manfaat. Perempuan yang memiliki akses pada internet akan dapat mengakses informasi yang berguna, untuk diri sendiri dan untuk komunitasnya pula.
"Akses berita serta info terkini, keterhubungan, yang lebih mudah membuat hidup lebih produktif. Teknologi ditakuti mengekspoitasi wanita tapi pada praktiknya teknologi yang digunakan bijak bermanfaat sebagai pembelajaran. Kampanye kami bertujuan meningkatan kesadaran itu," kata Deva.
Ia menambahkan, hambatan pokoknya adalah perempuan di negara berkembang tidak memiliki pengetahuan memadai (availability) dan kemampuan membeli (affordability).
Saat ini 66 juta anak perempuan masih tidak mendapat akses untuk pendidikan dasar dan lanjutan. Dan ada sepuluh juta perempuan setiap tahunnya yang terpaksa atau dipaksa untuk menghadapi pernikahan dini. Sebanyak satu dari tujuh anak perempuan di negara berkembang menikah di bawah usia 15 tahun.
Budaya dan mitos
Fakta global menunjukkan betapa berakar dari faktor sosial budaya patriarki, masih terjadi kesenjangan gender (gender gap) yang akhirnya memutus perempuan dari teknologi. Sejak kecil, anak perempuan tidak diberi kesempatan yang sama seperti anak lelaki dalam sarana teknologi.
Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif dan Pemimpin Redaksi di Jurnal Perempuan, memaparkan, "Di samping budaya, ada juga mitos-mitos gender yang cenderung mengakibatkan ketersingkiran perempuan dari teknologi. Seperti teknologi sebagai bidang yang diminati laki-laki, hingga pandangan perempuan tidak bisa menguasai sains karena secara kodrati tidak bisa berpikir rasional. Itu tidak benar."
Ia membeberkan contoh tokoh-tokoh perempuan di bidang iptek. Antara lain ialah Emmy Noether, ahli matematika jenius yang diakui Albert Einstein kontribusinya pada aljabar abstrak dan fisika teori. Juga Grace Murray Hopper, perempuan yang merancang program komputasi di Harvard.
Sebaliknya, tutur Mariana, sebagai target pasar konsumen perempuan sangat diperhitungkan. "Solusinya yaitu harus ditanamkan bahwa teknologi dibutuhkan dan bisa dikuasai siapa pun karena teknologi adalah sebuah gagasan, ide, penciptaan," ujarnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR