Nationalgeographic.co.id—Sejauh 18.864 km kurang lebih, jarak memisahkan antara Indonesia dengan Suriname. Hampir setengah jauhnya permukaan bumi, ada banyak kerinduan bagi mereka, komunitas Jawa yang hidup di Suriname. Berdasarkan statistik yang dirilis Worldometers di tahun 2020, terdapat kurang lebih 88.150 jiwa keturunan Jawa, hidup di Suriname. Suriname merupakan salah satu negara yang terletak di benua Amerika Selatan, berbatasan dengan Guyana Perancis dan Brazil.
Semua berawal dari munculnya werk atau calo di Hindia-Belanda yang mencari tenaga kerja, untuk dipekerjakan dengan upah murah di Suriname. Sarmoedjie menulis artikel yang berjudul "Mengintip" sejarah dan perjuangan para mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Indonesia, di Suriname, terbit pada 2007, menjelaskan tentang sejarah awal migrasi orang-orang Jawa ke Suriname.
"9 Agustus 1890 menjadi hari paling bersejarah, sekitar 94 orang di bawa ke Suriname. Terdiri dari 61 pria, 31 wanita dan 2 anak-anak" tulisnya. Nahas, pada gelombang kedua, sebanyak 614 orang yang diangkut ke Suriname banyak mengalami luka dan meninggal dunia. Hal tersebut ditengarai akibat kelebihan penumpang sehingga harus berdesakkan. Sesampainya di pelabuhan, semua korban dilarikan ke rumah sakit. Tak ada tindakan dari Pemerintah Belanda sebagai bentuk tanggung jawab atas meninggalnya para korban.
"Mereka (para TKI) dikelabui oleh werk, mereka di janjikan akan mendapat 60 sen perhari atau dua kali lipat lebih banyak daripada yang mereka dapat di perkebunan Hindia-Belanda" tambah Sarmoedjie. Kenyataannya, para TKI di Suriname hanya mendapatkan 40 sen perhari bagi laki-laki dan 30 sen perhari bagi pekerja wanita. Sebelumnya juga dalam isu yang dijanjikan, para pekerja dapat kembali lagi ke Jawa, namun pada kenyataannya, mereka dipersulit untuk bisa kembali pulang ke Jawa.
Semua isu yang dihembuskan hanya berita palsu, ketika mereka sampai dan melakukan kontrak kerja, semuanya berbeda dari yang mereka bayangkan. Perang Dunia I yang meletus pada 1914-1918 berdampak pada melemahnya perekonomian. Banyak perusahaan perkebunan Belanda di Suriname mengalami kebangkrutan. Hal ini lantas menjadikan para TKI Jawa kehilangan pekerjaannya dan hidup sengsara karena menganggur.
Baca Juga: Kartu Pos Potret Kehidupan Jawa: Pesan Hindia Belanda ke Penjuru Dunia
Mereka juga tak dapat kembali karena lemahnya keuangan untuk membeli tiket kapal ke Jawa. Sebaliknya, pemerintah Belanda mau mengganti rugi sebesar 100 gulden Suriname bagi mereka yang memutuskan bertahan di Suriname.
Kondisi mereka memprihatinkan. Begitu juga dengan lingkungan kerja yang kurang nyaman. Di Suriname, kurang lebihnya terdapat tiga bangsa, yaitu bangsa Creol (Eropa), bangsa India dan orang-orang Jawa.
Baca Juga: Nasib Musik Tanjidor: Dari Kaum Mardijker Sampai Kaum Pinggiran
Diskriminasi bangsa Creol dan pemerintah Belanda terhadap TKI Jawa sampai pada 1946, membuat mereka bertekad untuk kembali. Tersiarnya kabar kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 pada radio Belanda di Suriname juga turut menambah kerinduan mereka akan tanah air yang telah dinantikan kemerdekaannya.
Hal tersebut lantas mendorong lahirnya gerakan 'Mulih Njowo' yang bermakna pulang (ke) Jawa, sebagai bukti keinginannya rakyat Jawa pada kampung halamannya.
Baca Juga: Sejarah Perusahaan Global dalam Eksplorasi Minyak di Hindia Belanda
Susanti dalam tulisannya pada Jurnal Sejarah Citra Lekha, ANRI dengan judul Nasionalisme dan Gerakan Mulih Njowo, 1947 dan 1954, terbitan tahun 2016, menjelaskan tentang upaya-upaya yang dilakukan rakyat Jawa untuk kembali ke tanah air. "TKI Suriname telah berhasil kembali ke tanah air untuk menceritakan hal yang terjadi dan meminta bantuan kepada Presiden Soekarno untuk memberikan bantuan berupa obat-obatan dan pakaian bagi yang membutuhkan".
"Para TKI melakukan demonstasi besar-besaran di Suriname dan sekitar 782 orang Jawa disana berhasil kembali ke tanah air pada 25 Oktober 1947" tambahnya. Sebanyak 782 orang tersebut berhasil kembali berkat upayanya menghimpun dana untuk menyewa kapal yang menuju Indonesia. Kapal Tabian akhirnya menjadi kapal yang berjasa membawa sejumlah TKI kembali dengan biaya sewa sekitar Sf.280.000 (gulden Suriname).
Baca Juga: Apa Saja Sukacita dan Nestapa Berhaji pada Zaman Hindia Belanda?
Melihat kenyataan itu, pemerintah Belanda di Suriname tak tinggal diam. Repatrian (TKI) Jawa kemudian diiming-imingi kesejahteraan sebagai bagian dari warga negara Belanda. Hal tersebut dilakukan lantaran Pemerintah Belanda tidak ingin kehilangan tenaga kerja yang berkualitas dan mau diupah murah.
Hasilnya, seluruh repatrian Jawa di Suriname menolak tawaran Belanda dan memutuskan untuk tetap menjadi warga negara Indonesia. Sebaliknya, para repatrian membentuk dua partai politik dengan tujuan berbeda.
Baca Juga: Blunder Snouck Hugronje Perkara Arab-Hadhrami di Hindia Belanda
Orang-orang Jawa membentuk dua partai, Persatuan Bangsa Indonesia Suriname (PBIS) dan Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI). KTPI memilik tujuan khusus, yakni bertekad keras untuk menyusul 782 orang pulang ke tanah air. Besarnya tekad kembali ke Jawa, KTPI membentuk Yayasan Tanah Air (YTA), tujuannya untuk membangun diplomasi dengan perwakilan RI di Suriname untuk dapat memudahkan mereka kembali ke Jawa.
Demi dapat pulang, mereka menjual seluruh harta benda. Pada akhirnya, mereka dapat berlabuh di Teluk Bayur, Padang pada 3 Februari 1954. Padatnya Pulau Jawa, membuat rombongan Kapal Langkuas harus menetap di Sumatera Barat dan mendirikan "Desa Suriname".
Meski begitu, beberapa orang Jawa tetap tak dapat kembali dan melanjutkan hidupnya di Suriname. Para keturunan Jawa-Suriname telah menjabat di parlemen, pasca kemerdekaan Suriname pada 25 Nopember 1975. Mereka yang menjabat adalah keturunan Jawa-Suriname yang merupakan generasi kedua para imigran Jawa di Suriname.
Baca Juga: Fotografi Zaman Hindia Belanda, Lahir dari Eksotisme dan Kosmopolitan
Source | : | google scholar |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR