"Mereka (para TKI) dikelabui oleh werk, mereka di janjikan akan mendapat 60 sen perhari atau dua kali lipat lebih banyak daripada yang mereka dapat di perkebunan Hindia-Belanda" tambah Sarmoedjie. Kenyataannya, para TKI di Suriname hanya mendapatkan 40 sen perhari bagi laki-laki dan 30 sen perhari bagi pekerja wanita. Sebelumnya juga dalam isu yang dijanjikan, para pekerja dapat kembali lagi ke Jawa, namun pada kenyataannya, mereka dipersulit untuk bisa kembali pulang ke Jawa.
Semua isu yang dihembuskan hanya berita palsu, ketika mereka sampai dan melakukan kontrak kerja, semuanya berbeda dari yang mereka bayangkan. Perang Dunia I yang meletus pada 1914-1918 berdampak pada melemahnya perekonomian. Banyak perusahaan perkebunan Belanda di Suriname mengalami kebangkrutan. Hal ini lantas menjadikan para TKI Jawa kehilangan pekerjaannya dan hidup sengsara karena menganggur.
Baca Juga: Kartu Pos Potret Kehidupan Jawa: Pesan Hindia Belanda ke Penjuru Dunia
Mereka juga tak dapat kembali karena lemahnya keuangan untuk membeli tiket kapal ke Jawa. Sebaliknya, pemerintah Belanda mau mengganti rugi sebesar 100 gulden Suriname bagi mereka yang memutuskan bertahan di Suriname.
Kondisi mereka memprihatinkan. Begitu juga dengan lingkungan kerja yang kurang nyaman. Di Suriname, kurang lebihnya terdapat tiga bangsa, yaitu bangsa Creol (Eropa), bangsa India dan orang-orang Jawa.
Baca Juga: Nasib Musik Tanjidor: Dari Kaum Mardijker Sampai Kaum Pinggiran
Diskriminasi bangsa Creol dan pemerintah Belanda terhadap TKI Jawa sampai pada 1946, membuat mereka bertekad untuk kembali. Tersiarnya kabar kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 pada radio Belanda di Suriname juga turut menambah kerinduan mereka akan tanah air yang telah dinantikan kemerdekaannya.
Hal tersebut lantas mendorong lahirnya gerakan 'Mulih Njowo' yang bermakna pulang (ke) Jawa, sebagai bukti keinginannya rakyat Jawa pada kampung halamannya.
Baca Juga: Sejarah Perusahaan Global dalam Eksplorasi Minyak di Hindia Belanda
Source | : | google scholar |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR