Buku kuno yang terdiri atas 303 lembar kertas kulit kayu itu ditulis di kediaman Mangkunagara I. Halaman sampulnya sudah rusak, dengan empat tulisan tangan beraksara Jawa dan satu tulisan beraksara Arab pegon. Isinya mirip buku harian lantaran menggunakan hari atau tanggal pada saban peristiwa politik, ekonomi, kehidupan rumah tangga dan pasukan Mangkunagaran sekitar 1781-1791.
Gambaran tersebut dipaparkan oleh Ann Kumar, kini seorang profesor dari Centre for Asian Societies and Histories di Australian University, dalam jurnal Indonesia berjudul Javanese Court Society And Politics In The Late Eighteenth Century: The Record Of A Lady Soldier.
Bagian pertama yang berisi kehidupan agama, sosial, dan ekonomi Keraton Mangkunagaran terbit pada volume 29 (April 1980). Sementara, bagian kedua tentang perkembangan politik antara Keraton Mangkunagaran dan VOC terbit pada volume 30 (Oktober 1980). Jurnal semitahunan yang diterbitkan Cornell University sejak 1966 itu di setiap terbitannya mengupas soal kebudayaan Indonesia, termasuk sejarah, perkembangan masyarakat dan politiknya.
Kumar menjelaskan bahwa si perempuan tadi menulis dengan aksara Jawa di baris pertama buku hariannya, yang artinya, “Perhatian! Penulis merupakan seorang pengarang dan laskar perempuan yang menyelesaikan cerita dari Babad Tutur pada bulan Siyam, hari ke-22, dalam tahun Jimawal 1717 di Kota Surakarta.”
Laskar perempuan Jawa tak hanya terlatih dalam urusan rumah, ungkap Kumar dalam catatannya, tetapi juga terampil berkuda hingga menembak salvo dengan tata cara militer. Mereka menyalin busana emas gaya maskulinnya, lalu mengganti dengan busana wanita berwarna putih polos tatkala berada di rumah.
Pada acara penyambutan gubernur pantai timur laut di istana Mangkunagara dikisahkan laskar perempuan memamerkan keahliannya dengan senjata api. Atas alasan keluwesan, menari dalam perayaan agama juga salah satu tugas laskar perempuan.
Si penulis manuskrip ini juga sangat dekat dengan sang raja. Menurut Kumar, dia menuturkan kehidupan Mangkunagara I yang dikisahkan seorang yang punya ikatan kuat dengan Islam, namun juga bukan seorang yang menghindari kenikmatan dunia—berpesta hingga mabuk.
Ibarat seorang pewarta masa depan, sang penulis buku harian ini kerap menampilkan hal-hal yang bersifat humanis—seperti robohnya tembok keraton, wabah penyakit, banjir, sampai kasus kehamilan yang tidak diinginkan.
Tentang imaji laskar perempuan Mangkunagaran, orang mungkin akan membayangkan sosok Rubiyah dari Desa Matah—sohor dengan nama Matah Ati. Perempuan inilah yang mendampingi perjuangan gerilya Raden Mas Said melawan VOC. Rubiyah dikenang sebagai panglima korps prajurit estri.
Ibarat seorang pewarta masa depan, sang penulis buku harian ini kerap menampilkan hal-hal yang bersifat humanis.
Kelak Raden Mas Said menjadi Raja Mangkunagara I. Mereka menikah dan dari rahim Rubiyah pula dinasti baru Keraton Mangkunagara di Surakarta berlanjut. Apakah buku harian itu milik Rubiyah Sang Matah Ati? Sayangnya, sampai saat ini siapa nama perempuan yang sejatinya menulis buku harian itu masih terbungkus kelambu misteri.
Kini, buku harian laskar perempuan Mangkunagaran itu tersimpan dengan nomor katalog 231 di perpustakaan KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) di Leiden, Belanda. KITLV merupakan sebuah institut Kerajaan Belanda yang melakukan studi seputar Asia Tenggara dan Karibia.
Bagaimana kisah perjalanan buku harian milik laskar perempuan Jawa hingga sampai ke Belanda? Suatu hari Mangkunagara VII, yang berkuasa pada 1916-1944, memberikan menuskrip kuno yang keadaannya berantakan kepada Theodoor Gautier Thomas Pigeaud seorang ahli dalam kesusastraan Jawa kuno kelahiran Jerman. Kemudian Pigeaud memberikan masukrip itu kepada KITLV.
Buku harian ini mengungkapkan imaji yang berbeda tentang sosok perempuan masa lalu
Hingga hari ini, masyarakat umumnya menganggap pada masa lalu kehidupan perempuan Indonesia sangatlah terpasung. Perempuan tidak bebas mengungkapkan pemikiran dan cita-citanya, seperti sosok R.A. Kartini (1879-1904).
Namun, buku harian ini mengungkapkan imaji yang berbeda tentang sosok perempuan masa lalu. Bahwa laskar perempuan Mangkunagara merupakan sosok yang kerap tampil di muka publik.
Lebih dari itu, keterlibatannya dalam pasukan khusus istana dan pengetahuan tentang ihwal politik dan keuangan istana memberikan petunjuk bahwa perempuan pada akhir abad ke-18 itu bukanlah sosok yang terbelenggu.
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR