Bila menanyai para peserta Supporter Appreciation Trip, Journey to the Heart of Borneo yang digelar WWF Indonesia (16 - 19/05), kesan menjumpai orangutan serta digigit kutu beruang madu di Taman Nasional Sebangau pasti mengemuka.
Bersama para peserta ini, National Geographic Traveler menempuh rute penerbangan Jakarta - Palangkaraya, diteruskan perjalanan darat sekitar empat jam menuju Desa Baun Bango, berganti bus air ke Desa Jahanjang sekitar 15 menit dan perhentian akhir di muara Sungai Punggualas sebelum berganti naik kelotok atau ces sekitar 10 menit menuju orangutans research camp milik WWF.
Di camp inilah beberapa peserta mengalami gigitan kutu dari beruang madu (Helarctos malayanus). Menurut Daviar Ariyandi atau lebih diakrabi sebagai Labay, staf lapangan TN Sebangau, lokasi kami bermalam memang termasuk jalur perlintasan beruang madu.
“Di malam hari, ada jenis semut tertentu, yang mengindikasikan bahwa di sekitar sini terdapat beruang madu,” kisahnya. “Sudah beberapa kali beruang madu ‘berkunjung’ ke dapur camp yang terkunci. Terbaru sekitar November 2012. Dinding dapat dijebol oleh cakarnya.”
Walau terdengar cukup menggemparkan, kisah yang dituturkan Labay dengan kalem ini justru melegakan hati. Pertanda bahwa beruang madu masih ada dalam lingkungan TN Sebangau. Bahkan bukti autentik berupa gigitan kutunya dialami oleh kami sendiri. Bukan kutu sembarang kutu, tetapi berasal dari si beruang madu!
Pak Dharma, salah satu tokoh masyarakat Desa Punggualas sekaligus petugas TN Sebangau memberikan metoda penanganan gigitan kutu beruang madu ini dengan resep sederhana: tertib mandi dan rajin berjemur di bawah Matahari pagi. Bila di sekitar ada pohon mahoni, silakan kunyah buahnya yang pahit tetapi manjur mengatasi serangan gatalnya. Terpenting, bintik-bintik merah yang timbul jangan digaruk karena akan meluas. Biasanya, bercak tidak akan timbul serentak tetapi bertahap, diawali di area tangan. Rasa gatal akan berhenti kurun tiga atau empat hari.
Penulis | : | |
Editor | : | Jessi Carina |
KOMENTAR