Oktober 2012. Tatapan saya terhenti pada satu sampul yang terkesan bersahaja dibanding sampul-sampul berbagai buku lain di atas rak. Sketsa pohon besar berwarna hijau mendominasi halaman yang berlatar putih.
Di bagian atas sampul tertera tulisan berwarna putih: Sarongge. Satu kata yang langsung menghentikan pencarian saya akan suatu bacaan menarik di lorong-lorong rak toko buku itu. Sudah 22 tahun berlalu sejak saya pertama kali mengenal kata itu.
Namun, tak sekali jua saya benar-benar mendefinisikan dalam hati, apa yang membuatnya terkenang selalu. Pokoknya selalu di hati. Kampung itu, yang bernama Sarongge, selalu lekat dalam suatu bagian dalam ruangan perasaan tanpa benar-benar saya pahami. Namun, daya tariknya, rupanya, memang tak pernah menguap.
Sarongge terletak pada lereng bagian timur Gunung Gede. Kalau melakukan perjalanan menyusuri jalan dari arah Cisarua menuju Cianjur, pertigaan menuju Sarongge harus ditemukan setelah berturut-turut kita melewati Puncak Pass, Ciloto, Cibodas, Pasar Cipanas, dan Istana Kepresidenan.
Ancar-ancarnya, setelah Cipanas, jangan sampai kita melihat kebun teh di sebelah kanan jalan yang di bagian itu agak menikung ke kanan pula. Kalau sampai melihat kebun teh itu, berarti persimpangan menuju Sarongge sudah terlewat.
Ketika mulai membaca novel berjudul Sarongge karya Tosca Santoso itu, saya segera mengingat-ingat. Apa sebenarnya penyebab mengapa ketertarikan saya selalu hidup. Tak sulit ternyata. Kampung itu dua kali saya kunjungi sewaktu berstatus pelajar SMA. Pertama untuk mendaki, kedua untuk trekking santai mencari udara segar sehari saja.
Kesan pertama yang menjadi pendorong kepergian kedua kalinya ke Sarongge. Saat pertama kali datang dan mendaki bersama teman-teman (sebenarnya perbuatan melanggar aturan karena itu bukan jalur resmi untuk pendakian), saya bertanya-tanya. Mengapa di gunung yang berada dalam kawasan Taman Nasional Gede-Pangrango (TNGP), kami terus melihat ladang sayuran meski telah mendaki beberapa jam? Mengapa ada ladang-ladang sayur di punggungan gunung yang semestinya hutan?
Pertanyaan itu penting, karena saya berharap melihat hutan dan bukannya ladang sayuran dalam taman nasional. Lagipula, di kesemua sisi lereng Gede-Pangrango, hanya di jalur Sarongge-lah ladang sayur terus tampak hingga ke atas. Di bagian-bagian lain paling hanya perkebunan teh.
Jawaban diberikan oleh Tosca Santoso dalam novelnya. Jauh sebelum saya lahir, lereng Gunung Gede bagian timur yang tadinya berada dalam pengelolaan Perhutani telah dirambah oleh para petani yang umumnya berasal dari Sarongge dan sekitarnya.
Pohon-pohon eucalyptus yang didatangkan oleh Perhutani dari Australia sebagai tanaman produksi—dijadikan bubur kertas—menyisakan lahan-lahan tanah di antaranya. Lahan itu cukup untuk ladang sayuran. Sebagian pohon lain ditebangi. Tanahnya dibersihkan lalu ditanami beraneka jenis sayur-mayur pula.
Dalam novelnya, Tosca (ternyata yang ini hanya nama panggilan ciptaan teman-temannya semasa menjadi wartawan, bukan nama sebenarnya) menguraikan dengan jelas. Sekitar 200 petani pada beberapa tahun lalu terdata telah mewarisi dan mengurusi ladang sayur di hutan Perhutani dari orang tua atau buyutnya.
Para tua-tua pendahulu itulah yang pertama kali membuat petak-petak ladang sayur pada tanah miring sekitar 30 - 40 tahun lalu. Pada umumnya, para petani ini tidak memiliki lahan sendiri, tidak berkecukupan, dan mewariskan cara hidup yang sama kepada anak-anaknya.
Membagi petak-petak menjadi petak-petak-petak-petak dan petak-petak lagi agar semua anaknya mendapat bagian. Tentu saja, ukuran petak semakin mengecil padahal semua harga kebutuhan hidup semakin besar.
”Kesulitan hidup yang diwariskan turun-temurun,” tulis Tosca. ”Padahal di saat bersamaan, kita membutuhkan hutan di area yang sama.” (bersambung)
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR