Penerapan sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK punya dampak positif bagi pengrajin mebel di Jepara, Jawa Tengah. Salah satu tantangannya adalah memenuhi persyaratan legalitas bagi industri kecil-menengah (IKM) mebel.
Sebagian besar industri furnitur di Jepara bergantung kepada para perajin rumah yang independen. Sayangnya, para perajin itu belum terbiasa mengurus syarat bagi SVLK.
“Para perajin tidak pernah menyimpan nota-nota pembelian kayu,” kata Diah Raharjo, Direktur Program Multistakeholder Foresty Programme (MFP)-Yayasan Kehati di Jepara, Senin (3/6). Diah melanjutkan, biasanya yang disimpan adalah nota utang. “Tapi setelah utang dibayar, notanya juga dibuang.” Padahal, nota pembelian kayu menjadi salah satu syarat administrasi dalam legalitas kayu.
Manajer Produksi PT Mahogany Crafter Anita Indriani menuturkan, para perajin industri kayu enggan menaati administrasi kayu. Industri yang mengeskpor sebagian produknya ke Uni Eropa ini mengajukan sertifikasi legalitas kayu karena permintaan satu pembeli dari Inggris. “Di sana sudah ada selentingan produk kayu dari Indonesia harus bersertifikat legalitas kayu,” terang Anita.Saat itu, dia malah belum mengetahui tentang SVLK.
Anita menyatakan sertifikat kayu legal membantu bisnis mebelnya berkembang. Sejak bersertifikat kayu legal, Mahogany mendapatkan tiga pembeli baru dari Uni Eropa.
Dalam proses sertifikasi, menurut Anita, yang paling sulit adalah membina perajin rumahan. Itu lantaran perajin umumnya belum memiliki legalitas usaha, seperti surat keterangan usaha (SKU) atau NPWP.Mengurus SKU misalnya, sangat sederhana, hanya perlu ke kelurahan. “Tapi susah sekali, sampai kami membujuk. Bahkan kami juga yang mengganti biaya untuk mengurus SKU,” terang Anita.
Ujung-ujungnya, Mahogany yang mengurus SKU, NPWP dan pembayaran pajaknya. “Baru mereka mau mengurus NPWP, itupun kami masih harus mendampingi,” ujar Anita.Tak hanya itu, para perajin juga tidak memiliki budaya pengarsipan dan dokumentasi volume kayu.
SVLK sebenarnya mensyaratkan berbagai legalitas izin usaha yang sudah ada sejak perusahaan berdiri, semisal Amdal, izin ekspor, ataupun NPWP.“Jadi, dalam SVLK itu tidak ada yang baru. Ada atau tidak ada SVLK, semua legalitas usaha tetap harus diurus,” kata Irfan Bachtiar, deputi direktur MFP-Yayasan Kehati.
Direktur PT Tita International Febti Estiningsih menyatakan pada awalnya memang kesulitan memenuhi persyaratan SVLK. Hal itu terutama bagi perajin kecil. Karena ada penyadaran SVLK adalah peraturan yang harus ditaati, akhirnya bisa mengurus syarat sertifikasi. “Kita harus patuh hukum,” jelas Febti di kantornya. Dia menegaskan, produk mebelnya kini memiliki peluang lebih besar di pasar dunia. “Selain untuk penertiban, peraturan SVLK bisa menambah peluang di pasar internasional.”
PT Mahogany Crafter dan PT Tita International adalah dua industri mebel Jepara yang telah meraih sertifikat legalitas kayu. Sertifikat diserahkan pada Selasa (4/6) bersama dengan industri mebel KSU Apikri dan CV Mebel Jati.
Ketua Asosiasi Pengrajin Kayu Jepara (APKJ) Margono menyadari SVLK memberi harapan baru bagi kelangsungan industri kayu di Jepara. “Sekaligus berkompetisi di pasar internasional,” ujar Margono saat penyerahan sertifikat bagi empat industri mebel tersebut.
Sebelum penerapan SVLK, Margono kecewa dengan pandangan bahwa industri kayu di Indonesia memakai kayu ilegal. “Sertifikat legalitas kayu bisa menjamin produk kayu Indonesia memakai kayu legal, dan pasar dunia bisa menerima dengan baik.”
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR