Perasaan itu datang lagi. Dalam satu-dua detik saja, kecemasan yang aneh itu menjalari sekujur tubuh tanpa tertahankan. Tubuh terasa menciut. Tangan di depan mata tak tampak.
Kami sedang diselimuti kegelapan total di suatu kelokan lorong yang mengular di bawah permukaan tanah. Udara di Gua Cikaray di kawasan Citeureup, Bogor, ini terasa lembap. Tanah dan dinding yang tersentuh kulit terasa basah. Kami duduk di tempat sekenanya tanpa mengetahui persis siapa yang berada di sebelah atau di depan dan berapa jaraknya. Sampai ketika suara Thomas Suryono terdengar dari satu arah, memecah keheningan.
Satu demi satu lampu senter pada helm kembali menyala. Diskusi tentang ekosistem gua dan berbagai aspek kawasan karst berlanjut lagi. Begitulah, penelusuran gua bersama para cendekiawan seperti ini pasti tidak tergesa-gesa. Sebentar-sebentar kami berhenti. Seringkali sembari berjongkok memperhatikan sesuatu atau malah duduk-duduk lagi untuk berdiskusi.
Thomas, penelusur gua yang berpengalaman, akan menerangkan sesuatu begitu melihat suatu fenomena pada dinding atau dasar gua. Ia memiliki pengetahuan luas tentang formasi batuan. Hal serupa dilakukan Cahyo Rahmadi. Ia seorang penelusur gua, ahli arachnology (ilmu yang mempelajari laba-laba dan kerabatnya), sekaligus peneliti di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Pada tahun 2004 di Gua Cikaray ini, Cahyo menemukan sejenis udang air tawar. Setelah proses identifikasi selama dua tahun, temuan itu terbukti merupakan spesies baru dan diberi nama jenis Stenasellus javanicus. Spesies itu masuk ke dalam Bangsa Isopoda, Asellota, dan Famili Stenasellidae. Sebagian cerita tentang penemuan ini pernah dituliskan Cahyo untuk Majalah National Geographic (Indonesia) edisi September 2007.
“Jika dihubungkan dengan periodisasi geologi, kawasan karst seperti ini dahulu berada di bawah permukaan laut. Usia spesies udang ini sangat tua, sama tuanya dengan usia kawasan karst ini. Mungkin sekali udang ini secara perlahan ikut terangkat dan menjalani proses penyesuaian terhadap habitat. Sekarang ia hidup di air tawar,” jelas Cahyo panjang-lebar.
Pada suatu awal dari kelokan lorong gua yang menanjak, Cahyo berhenti lalu mengajak saya berjongkok dan menunduk. Di dekat kaki kami tampak genangan air dengan diameter tak lebih dari 30 sentimeter. Dalamnya air mungkin sekitar lima sentimeter saja. ”Ini dia. Di sini tempatnya,” ucapnya.
Bagian permukaan air seperti berselaput, namun dasar genangan terlihat jelas di bawah sinar senter. Tak tampak apapun jika tak benar-benar memperhatikan. Pada suatu sudut, seekor fauna mungil—terlalu mungil bahkan, karena panjangnya hanya tujuh milimeter—tampak berenang-renang. Pada sudut lain tampak seekor lagi.
”Tinggal dua ekor,” keluh Cahyo lirih. Pertama kali ditemukan, jumlahnya sepuluh. Beberapa tahun lalu ketika Cahyo datang lagi tinggal tujuh ekor. Sekarang hanya tersisa dua. Kenyataan yang menyedihkan bagi dunia ilmu pengetahuan.
”Stenasellus javanicus ini hanya ditemukan di gua ini pada genangan ini. Endemisitasnya sangat ekstrem. Di Buniayu aku temukan yang mirip ini, masih famili Stenasellidae tapi spesiesnya berbeda. Di Jawa, dia hanya ada di genangan ini,” papar Cahyo dengan kecewa.
Celakanya, genangan yang merupakan habitat udang air tawar ini terletak persis di lorong gua. Lokasinya sangat rentan terinjak-injak oleh penelusur gua yang berjalan tergesa-gesa. Artinya, spesies baru yang berhasil diidentifikasi pada 2006 itu kemungkinan sedang menjalani saat-saat terakhir sebelum kepunahannya.
Mengapa tidak diselamatkan dengan dipindahkan ke tenpat lebih aman? ”Itulah masalahnya. Ilmu pengetahuan kita soal spesies gua baru sebatas identifikasi spesies. Belum terlalu mengarah kepada telaah habitat atau fungsi spesies secara ekologi,” kata Cahyo.
Ia menjelaskan, belum dapat diketahui bagaimana komposisi nutrisi yang dibutuhkan oleh spesies langka ini. Bagaimana kondisi air tempatnya hidup, dan sebagainya. Karena itulah, berusaha memindahkan Stenasellus javanicus dari genangan ini bisa menjadi tindakan sangat gegabah.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR