Beberapa pekan belakangan, bubungan asap membuat hubungan Indonesia dengan Singapura menegang. Asap yang berasal dari kebakaran hutan di Sumatra itu membuat kadar Pollutant Standards Index (PSI) di Singapura mencapai lebih dari angka normal 100.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai mengucapkan permintaan maafnya pada tetangga kita itu, Senin (24/6) malam, di Jakarta. Seperti layaknya tetangga, Indonesia-Singapura sedang mengalami pasang surut hubungan.
Jika Juni 2013 hubungan ini memburuk, delapan tahun lalu relasi ini malah sedang kuat-kuatnya. Indonesia digandeng Singapura untuk menghelat perayaan 600 tahun pelayaran Laksamana Cheng Ho, Juni 2005 silam.
Aneka kembang api memijarkan cahaya benderang di angkasa. Warna-warninya berpendar seolah memancarkan gempita dan semangat kesiapan Singapura menyambut para tamu dalam perayaan itu. Pesta kembang api digelar seusai Menteri Luar Negeri Singapura saat itu, George Yeo, menyalakan obor – tanda pembukaan acara – bersama koleganya dari enam negara: Cina, Indonesia, India, Iran, Kenya, dan Malaysia.
Yang menarik, pesta ini digelar di negeri yang sebetulnya tak tertera dalam daftar persinggahan armada Cheng Ho.
Singapura memang jeli. Momentum kebangkitan Cina sebagai kekuatan dunia tentu memiliki makna tersendiri. Geliat Sang Naga dicermati seksama oleh dunia. Sudah pasti, perayaan kilas balik misi besar itu merupakan salah satu usaha menangkap peluang devisa dari dunia pariwisata. Terlebih pemaparan sejarah besar tersebut dikelola serius dan rapi.
Lim Neo Chian, ketua badan pelaksana perayaan itu, dengan bersemangat mengatakan, “Persiapannya memakan waktu satu setengah tahun yang melibatkan usaha berbagai pelaku.”
Beragam lembaga turut terlibat, seperti National Library Board, National Heritage Board, National Parks Board, International Zheng He Society dan Friends of Admiral Zheng He Society. Tak cukup itu, Profesor Wang Gungwu – Direktur East Asian Institute di National University of Singapore diangkat sebagai ketua panel penasehat.
Usaha keras itu berupaya menampilkan rekonstruksi – dalam skala kecil – sejumlah pelabuhan yang sempat disinggahi armada raksasa kekaisaran Ming yang mulai meninggalkan ibukota Nanjing pada Juli 600 tahun silam.
Dalam perayaan ini pihak tuan rumah menampilkan tujuh paviliun plus satu panggung utama. Tiap paviliun menyajikan peragaan seni dan budaya dan pameran cinderamata. Para penampil pada tiap paviliun sengaja langsung didatangkan dari daerahnya masing-masing.
Misalnya dari Indonesia, diwakili oleh Semarang. Gubernur Jawa Tengah kala itu, Mardiyanto, memboyong sekitar 60 orang untuk menghadiri pesta pembukaan Zheng He Festive Village yang digelar dari 30 Juni – 10 Juli ini.
Kolega Singapura yang berasal dari negeri Cheng Ho pun tak ketinggalan. Sejumlah dara cantik berwajah oriental kerap kali menebar senyum kepada tiap tamu yang memasuki paviliun yang dibangun mirip rumah tradisional Cina.
Meski tak dapat berbahasa Inggris, mereka tak pernah menolak permintaan pengunjung untuk berfoto bersama. Tampil dengan busana tradisional tentu amat menarik siapa saja.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR